Kekejaman Sistematis pada Anak-anak Buruh Perusahaan
Aktifis Flowers Aceh
Laskar
Pelangi adalah satu satu film favoritku ketika Aku masih duduk dibangku SMA
dulu, kali ini setelah lima tahun lulus dari bangku sekolah aku mencoba
menontonnya kembali, berharap menemukan analisa yang baru dari film itu.
Film itu
menceritakan berlatar belakang tahun 1970-an tentang sepuluh anak di Pulau
Belitong yang memiliki semangat bersekolah yang tinggi ditengah-tengah
pergelutan kemiskinan yang mendera. Sekolah yang mereka tempatipun sangat
mengkhawatirkan, padahal SD tersebut merupakan sekolah Islam tertua di pulau
itu yang sudah melahirkan generasi-generasi penerus sebelumnya. Namun tidak ada
upaya dan perhatian dari pemerintah untuk memenuhi pendidikan anak Pulau
Belitong terhadap fasilitas sekolah.
Aku
melihat persoalan lain dari Film itu yang sedikit membahas mengenai sebuah
perusahaan tambang yang pernah masuk dan berjaya di sana. Disitulah letak
kesengsaraan masyarakat Pulau Belitong. Diceritakan bahwa masyarakat Pulau
Belitong itu sangat miskin, namun dipaksa untuk menonton pertunjukkan kehidupan
masyarakat elit dari balik pagar yang dibangun untuk menjaga perusahaan dan
pekerjanya dari masyarakat asli pulau tersebut. Semuanya terlihat berbeda, cara
anak-anak bermain, cara berpakaian, sepeda yang mereka kenakan, bahkan sampai
pendidikan pun anak-anak yang berada didalam pagar lebih diutamakan.
Melihat
keadaan itu aku jadi mengingat masa kecilku yang dibesarkan diruang lingkup
perusahaan. Ayahku dulunya adalah seorang karyawan disebuah perusahaan kelapa
sawit terkenal di Indonesia. Dalam perjalanan karirnya ia sudah merasakan
menjadi bawahan hingga mencapai posisi yang sangat strategis di dalam
perusahaan. Tak terkecuali akupun ikut merasakannya. Setelah besar, aku
menyadari bahwa perusahaan itu telah berhasil mengkotak-kotakkan kehidupan
kita.
Karena
jarak antara kota dan letak perusahaan yang agak jauh, maka kami diberikan
sebuah rumah untuk menetap disekitar perusahaan. Waktu itu ayahku masih
berstatus pegawai biasa, rumah kami berbentuk semi permanen dengan dua kamar di
dalamnya. Letak rumah itu berada dikompleks perumahan para buruh, biasa kami
sebut dengan “perumahan pabrik”. Jarak antara perusahaan dan sekolahku sekitar
satu jam perjalanan. Kami biasanya naik Bus yang sudah disediakan untuk
berangkat kesekolah. Untuk dapat menaiki Bus perusahaan jarak antara rumahku
dan tempat penjemputan sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan kaki
dan 15 menit jika menggunakan kendaraan roda dua, namun dengan medan yang
kadang berlumpur ketika hujan atau bertemu ular yang iseng-iseng lewat. Sekolah
masuk pukul setengah delapan, Bus akan jalan sekitar pukul setengah enam karena
harus mengangkut banyak penumpang lainnya. sedangkan aku harus berangkat dari
rumah pukul lima dan bangun tidur jam empat pagi. Sampai disekolah, aku selalu
tiba dengan tepat waktu, namun kerap kali aku terkantuk-kantuk menghadapi
pelajaran dikelas sebab selalu bangun terlalu pagi. Itu adalah hal yang paling
menyebalkan dalam masa-masa aku belajar di Sekolah Dasar.
Beberapa
tahun kemudian ayahku naik jabatan, posisinya jauh lebih tinggi dari posisi
sebelumnya. Ia diangkat sebagai penanggung jawab untuk satu afdeling
penggarapan wilayah kelapa sawit yang besarnya seperti sebuah desa. Kami pun
diminta untuk pindah ke perumahan dikomplek yang berbeda, lebih elit, lebih
besar, dengan perabotan yang lengkap dan baru, serta memiliki kolam ikan
dibelakangnya, yang paling penting aku tidak harus bangun jam empat pagi untuk
bisa pergi kesekolah. Kenaikan jabatan ayah berpengaruh terhadap kenyamanan
sekolahku.
Untuk
anak-anak yang tinggal diperumahan elit kami dijemput dengan menggunakan mini
bus, sehingga mampu dijangkau hingga tepat didepan rumah untuk penjemputan. Aku
pun tidak harus bangun jam empat pagi. Bus akan menjemput pukul setengah tujuh
dan aku biasanya bangun pukul enam, berarti aku menambah waktu tidur hingga dua
jam. Saat disekolah akupun tidak harus menghadapi pelajaran dengan
terkantuk-kantuk.
Tidak
hanya itu ternyata kepindahanku ke perumahan elit membuat teman-teman yang
sudah ku temani sejak kecil diperumahan pabrik menjauh dariku. Karena seperti
yang pernah kurasakan, mindset yang dibangun oleh perbedaan jabatan ayah
memiliki dampak yang besar pada pergaulan kami. Anak buruh dipaksa untuk
berteman dengan anak sesama buruh lainnya, dan anak para elit perusahaan tetap
pada ranahnya. Persoalan cara main yang berbeda itu salah satu faktor. Anak
buruh bermain bebasiskan apa yang alam berikan, kotor dan penuh tantangan.
Sebaliknya anak dari elit perusahaan memiliki mainan bagus, tertata, bersih dan
anti terhadap resiko.
Aku mencoba
turun pada level buruh yang lebih rendah lagi dari pada buruh pabrik yang
sebenarnya aku tidak sempat menjamah banyak waktu itu. Tapi aku pernah beberapa
kali mengunjungi perumahan tempat mereka tinggal. Mereka adalah buruh lapangan
kelapa sawit yang langsung dikontrol oleh mandor. Yang aku tau mereka hanya
diberi rumah yang dibangun dengan menggunakan papan bahkan tanpa pelafon. Aku
sempat masuk dibawa oleh ayahku, karena aku anak seorang petinggi mereka sangat
memperlakukanku dengan baik dan menawarkan segala makanan yang mereka punya.
Yang aku ingat rumah itu sangat panas dan sesak karena kekecilan. Mereka adalah
buruh-buruh yang tinggal disekitar afdeling. Jarak perumahan mereka dengan
akses jalan besar cukup jauh, sehingga jika sekolah anak-anak mereka diangkut
dengan menggunakan truk yang tidak aman bagi keselamatannya. Mereka pun hanya
bersekolah disekitar perusahaan tersebut yang jauh dari kota dan fasilitas
seadanya.
Lima tahun yang lalu aku menonton film Laskar Pelangi aku
tidak merasakan apa-apa selain kesalutan pada sepuluh anak itu dan perjuangan
seorang guru bernama ibu Mus dalam memperjuangkan pendidikan masyarakat miskin.
Tapi hari ini aku sadari, itu bukan hanya sekedar semangat memperoleh
pendidikan. Tapi negara memiliki tanggung jawab terhadap pemenuhan hak bagi
masyarakatnya. Dan perusahaan yang telah bercokol dan mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya dari tanah pribumi tidak pantas untuk mengkotak-kotakkan semua
orang yang ada didalamnya. Sehingga kemiskinan dan hirarki sangat kontras
terlihat bagi orang sepertiku. Waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengerti
bahwa itu merupakan kesalahan, dan orang-orang yang berada didalam juga tidak
gampang menyadari permasalahan itu. Kali ini aku melihat dari luar, kekejaman
itu ternyata pernah sangat dekat denganku. Dan kesadaran itu tidak kita bangun
dalam sehari tapi melalui proses yang panjang untuk melenyapkan kesadaran semu
yang telah dibangun dengan sangat sistematis.
Komentar
Posting Komentar