Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

Dobo, Kota Buruk Rupa

Gambar
(Sebuah Refleksi kritis atas tata ruang kota Dobo) Oleh: Haroly Ch. Darakay. S.SI Peneliti Aliansi Masyarakat Adat Aru Sudah biasa kita mendengar ungkapan buruk rupa. Ungkapan ini biasanya ditujukan kepada sesuatu yang bertampang buruk atau jelek (mis, ikan Blob adalah salah satu hewan buruk rupa di dunia). Sekarang saya menggunakan ungkapan ini untuk menggambarkan tata ruang Kota Dobo yang buruk dan tidak tertata rapi. Sebagian orang mungkin merasa risih dan marah membaca tulisan ini. "Tulisan bodoh apa ini?" mungkin begitu ungkapan kekesalan yang terucap. Terserah orang mau bilang apa. Saya hanyalah penulis pucuk yang baru belajar mengekspresikan kegelisahan atas suatu fenomena yang sungguhnya terjadi. Kembali ketopik. Dobo sebagai ibu kota kabupaten kepulauan Aru diharapkan memiliki tata ruang kota yang baik. Dalam pengamatan saya, kota ini masih jauh dari kriteria tata ruang kota yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tata kota adalah pola tata peren

PK5, Kaum Miskin Kota Yang Terabaikan

Gambar
PK5 di Jl. AP. Pettarani (Dokumen Pribadi) Penulis: R. Kottir Aktifis LAPAR Sulsel Pedagang kaki lima atau lazim dikenal PK5 salah satu komunitas yang terancam di Kota Makassar, dimana posisi mereka tidak pernah diakui oleh pemerintah, kebijakan pemerintah cenderung diskriminatif tanpa memikirkan kepentingan kelompok kelompok kecil di kota ini. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemkot Makassar menilai PK5 secara sepihak, kebijakan tersebut bukan hadir memberikan solusi bagi pedagang kecil tetapi justeru pemerintah menilai keberadaan mereka mengganggu kebersihan kota, pemerintah menilai semua hal yang berbau kumuh akan disingkirkan sebagai mana tagline pemkot yang sangat kapitalistik, "Makassar sebagai kota dunia". Tentu, Makassar sebagai kota dunia bukan sekadar melihat kebersihan kota atau tanpa keberadaan PK5, tetapi jika warga kota masih jauh dari harapan atau masih hidup dibawah garis kemiskinan maka kota dunia sebagai sebuah impian penguasa sulit tercapai, menga

Eksploitasi dan Perampasan Hak Atas Tanah

Gambar
Oleh : Stilman Renggi Aktifis HAM Papua PT Sinar Mas Group yang memiliki lahan kelapa sawit seluas 52.000 hektar di distrik Yapsi di Kabupaten Jayapura. Sejak awal proses pelepasan tanah adat sejak tahun 1994 tanpa adanya sosialisasi atau komunikasi yang baik dengan Ondoafi (kepala suku). Dalam hal ini mereka dipaksa untuk bisa menandatangani surat pelepasan Hak Atas Tanah yang sudah disiapkan oleh perusahaan. Akibatnya, masyarakat lokal sebagai pemilik tanah yang tadinya bisa hidup tenang dengan bergantung dari hasil hutan, berubah pola hidupnya menjadi buruh perkebunan kelapa sawit dengan upah yang rendah. Dari keterangan salah satu Tokoh Agama, saat melakukan kunjungan pada 15 Juni 2017 kemarin. “ Masih ada cukup banyak permasalahan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit PT Sinar Mas namun ditutupi oleh pihak perusahaan. Misalnya menyangkut hak buruh, sistem perekrutan tenaga kerja, masalah air bersih dan rumah layak huni” ujar Pater Hendrik. Masalah yang sering ter