PK5, Kaum Miskin Kota Yang Terabaikan

PK5 di Jl. AP. Pettarani (Dokumen Pribadi)
Penulis: R. Kottir
Aktifis LAPAR Sulsel

Pedagang kaki lima atau lazim dikenal PK5 salah satu komunitas yang terancam di Kota Makassar, dimana posisi mereka tidak pernah diakui oleh pemerintah, kebijakan pemerintah cenderung diskriminatif tanpa memikirkan kepentingan kelompok kelompok kecil di kota ini.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemkot Makassar menilai PK5 secara sepihak, kebijakan tersebut bukan hadir memberikan solusi bagi pedagang kecil tetapi justeru pemerintah menilai keberadaan mereka mengganggu kebersihan kota, pemerintah menilai semua hal yang berbau kumuh akan disingkirkan sebagai mana tagline pemkot yang sangat kapitalistik, "Makassar sebagai kota dunia".

Tentu, Makassar sebagai kota dunia bukan sekadar melihat kebersihan kota atau tanpa keberadaan PK5, tetapi jika warga kota masih jauh dari harapan atau masih hidup dibawah garis kemiskinan maka kota dunia sebagai sebuah impian penguasa sulit tercapai, mengapa, karena penguasa tak pernah berdialog dengan kaum miskin kota, suara kelompok marjinal terabaikan.

Nasaruddin, (62) salah seorang pedagang yang terletak di Jalan Andi Pangeran Pettarani mengaku merasa terancam dengan kebijakan pemerintah, dimana pemerintah tengah ingin merelokasi tempat PK5 namun tidak sesuai harapan mereka, "kalau pemkot Makassar mau menata kami (PKL), silahkan, tetapi kami berharap penataan yang diberikan pemkot benar-benar penataan. Kalau pemkot hendak merelokasi kam, silahkan, tetapirelokasinya jangan jauhkan kami dari pembeli/konsumen. kalau kami dijauhkan dari konsumen, itu sama saja kami dimatikan secara pelan-pelan", (seputarsulawesi.com, 24 Januari 2016).

Mereka, (PK5), tentu khawatir dengan pemindahan tersebut, karena jauh dari keramaian. Dimana tempat mereka berada tepat di jalur angkutan umum, jadi antara PK5 dengan sopir angkot ada interaksi, kalau pemerintah tetap ingin memindahkan, maka sopir angkot juga merasa dirugikan, akan semakin sulit menjangkau sebagai konsumen, maka harapan kelompok marjinal hidup di kota semakin sempit.

Dengan kehadiran pedagang-pedagang raksasa di kota ini merebut ruang ekonomi bagi kelompok miskin kota, pemangku kebijakan lebih mengutamakan pebisnis raksasa dibandingkan dengan pribumi asli.

Problem diatas harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah Kota Makassar, jika hal demikian terjadi terus menerus, maka negara gagal melindungi warganya sendiri, hak untuk hidup layak belum dipenuhi oleh negara.

Makassar, 18 Juli 2017


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA