Kembalikan Kemerdekaan Perempuan

(Makna Dirgahayu Republik Indonesia dalam konteks krisis HAM Perempuan Adat Aru)

Foto Masyarakat Adat Aru
Dok. Pribadi
Oleh: Haroly Chundrat Darakay S.Si
Peneliti Aliansi Masyarakat Adat Aru

Dingin pagi yang menusuk tubuh memberi stimulus untuk menarik selimut ke atas lalu tidur. Tetapi tidak bagi Nelly Margareta seorang perempuan adat yang hidup di salah satu desa di Aru Tengah, Propinsi Maluku. Dingin pagi tidak mampu membunuh semangatnya untuk tetap bekerja.

Cuaca yang tidak bersahabat sudah biasa baginya. Justru sang suami yang tak bisa lepas dari pelukan bantal guling, tak tahan udara dingin. Suami baru bisa bekerja jika matahari telah terbit menusuk tembus selimutnya. Suaminya seorang pekerja serabutan, kadang di darat, kadang di laut, mengikuti musim panen hasil alam di Desa mereka.

Eta (sapaan Nelly Margareta) merupakan sosok pekerja keras. Dia tidak mempedulikan budaya patriarkal yang kental di masyarakat bahwa mencari nafkah merupakan tanggungjawab laki-laki. Pagi-pagi bangun menyiapkan sarapan untuk si buah hati dan suami tercinta, setelah itu bergegas ke kebun. Di kebun Eta biasanya membabat rumput yang tumbuh membumbung menutupi berbagai tanaman ubi-ubian (bahasa lokal kesavava, lan-lan dll). Jika kebunnya sudah bersih, Eta mencangkul tanah untuk menanam tunas kelapa, batang singkong, atau anakan bibit kopi. Selain itu, Eta sering mengambil sagu (pangkur pangkur sagu) atau memilih buah kelapa tua untuk dijadikan kopra.

Eta tidak pernah mengeluh atas kerasnya aktifitas yang dilakukan. Hasil kebun ubi-ubian dan kopi hanya untuk dikonsumsi sehari-hari. Sedangkan sagu dan kelapa (kopra) untuk dijual pada tengkulak Asyiong di desanya dengan harga paling murah. Memang tidak seberapa penghasilan kebun (ditambah hasil melaut suami), namun penghasilan sedikit itu dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya serta biaya sekolah anak tunggal mereka yang masih SD.

Hari berganti hari, Eta menikmati hidupnya. Keadaan menjadi berubah ketika kebunnya digusur secara paksa oleh kontraktor proyek pembangunan Jalan Poros yang bekerjasama dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Proyek jalan yang menghubungkan desa tempat tinggal Eta dengan tiga desa lainnya itu dilakukan dengan cara yang tidak menghargai hak-hak masyarakat adat setempat.

Tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu bersama masyarakat pemilik tanah, pemerintah dengan kontraktor langsung melakukan penggusuran hutan dan kebun milik masyarakat adat. Setiap pohon kelapa, sagu, dan kopi yang masuk dalam peta jalan digusur hingga rata. Kebun milik Eta pun tak luput dari penggusuran. Selain kebun, situs adat yang disakralkan juga terkena dampaknya. Padahal sebagai masyarakat adat, situs adat merupakan sumber kebutuhan spiritual.

Eta sebagai perempuan adat tidak bisa berbuat banyak, hanya berserah pada Tuhan dan Datuk (Leluhur Aru). Karena keterbatasan pendidikan dan ilmu pengetahuan Eta dan masyarakat di desanya tidak bisa membawa kasus ini ke jalur hukum formal.

Kebun yang menjadi penopang kebutuhan ekonomi kini telah tiada. Sudah pasti penghasilan keluarga berkurang drastis. Eta tidak mau menyerah dengan keadaan. Dia kemudian memikirkan cara apa yang harus dilakukannya agar bisa menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Jualan kue, itulah idenya. 

Dengan pengalaman seadanya Eta membuat kue lalu dijajakan di depan rumahnya.
Suatu malam, saat sedang beristrahat, tiba-tiba “Buum” terdengar suara bantingan pintu sangat keras. Rupanya sang suami baru datang dengan keadaan mabuk berat.
“Etaaa” teriak suaminya “kasih uang dolo, beta mo beli sopi”.

Eta terdiam dalam ketakutan, walau dirinya sangat kesal dengan ulah suaminya itu. Sangat tidak bertanggungjawab terhadap keluarga. Bukannya mencari nafkah dan menabung untuk masa depan anak malah mabuk-mabukan. Merasa tidak dihiraukan, sang suami semakin emosi. Eta lalu ditambar. Tubuhnya yang mungil langsung terhempas ke dinding ruang kamar. Suaminya terus meminta uang. Eta hanya bisa menangis menahan sakitnya tamparan tadi. Merasa belum puas, Eta dipukul hingga lebam mukanya. Dengan tidak merasa berdosa, suaminya lalu pergi meninggalkan rumah, entah kemana.

Malam itu Eta benar-benar menderita. Tindak kekerasan suaminya sudah terjadi berulang kali. Kepada siapa lagi dia harus mengadu sedangkan jinang amang (ibu dan ayah) sudah tiada. Di Desa tak ada polisi. Mengadu kepada perangkat Desa, percuma. Tidak ada sanksi yang jelas dan tegas bagi para pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku biasanya hanya ditegur secara lisan. Mengadu ke gereja? Paling-paling didoakan lalu dinasehati “sabar saja”.

Setelah dipertimbangkan dengan matang, Eta memutuskan tetap pergi menemui Pendeta untuk mencurahkan rasa sakit dan kesal. Betapa tidak, belum lama tanah dan kebunnya dirampas penguasa dan pengusaha, datang lagi tindak kekerasan suami. Eta berprinsip, kalau manusia gagal mengerti, masih ada Tuhan yang tahu isi hati. Paling tidak jiwanya tenang dengan doa Pendeta. Berharap puskesmas, perawat saja alergi tinggal di desa.

Jika sebentar lagi kita merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia maka itu artinya konsep kemerdakaan wajib dinikmati semua orang termasuk perempuan. Sayangnya, belum semua perempuan bisa menikmati kemerdekaan. Budaya patriarkal masih sangat kuat merampas hak-hak asasi perempuan.

Pada kasus Eta, bisa kita lihat bentuk pelanggaran HAM yang terjadi :  
-          Pelanggaran terhadap hak atas kehidupan: tanah dan kebun sebagai sumber kehidupan dirampas penguasa dan pengusaha
-          Pelanggaran terhadap hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik. Sumber pekerjaan sudah dimusnakan negara atas nama pembangunan infrastruktur.
-          Pelanggaran terhadap hak kemerdekaan dan keamanan pribadi: suami seperti predator bagi sang istri. Istri tidak aman di rumahnya sendiri.
-          pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya.
-          Pelanggaran terhadap hak untuk tidak mengalami penganiyayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi.
-          Sebagai perempuan adat, hak atas kebutuhan spiritual telah dilanggar. Mengingat hutan juga merupakan tempat berinteraksi perempuan adat dengan para leluhur.

Disebut pelanggaran HAM karena negara lamban bahkan gagal hadir memproteksi hak-hak asasi perempuan. Pada kasus di atas, negara bahkan terlibat langsung dalam merampas hak-hak perempuan. Tentunya ini bertentangan dengan semangat kemerdekaan.

Apa yang dialami Eta merupakan satu dari sekian banyak kasus perampasan hak kemerdekaan perempuan adat Aru. Kemerdekaan merupakan hak asasi manusia yang diakui oleh dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan deklarasi CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) atau konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.  Indonesia kemudian meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun 1984.

Di tingkat nasional ada beberapa payung hukum yang bisa memproteksi hak asasi perempuan. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. PP No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan  dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ada pula Pasal 28a-28j UUD 1945.

Kasus Eta memberitahu kepada kita bahwa meskipun Peraturan dan Undang-Undang cukup memadai untuk melindungi perempuan namun pelaksanaannya masih jauh dari harapan.  Menurut data Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kab. Kepulauan Aru, perempuan korban tindak kekerasan fisik dan psikis per tahun 2016 sebanyak 38 orang. Jumlah ini dinilai masih tinggi. Belum lagi dengan kasus yang tidak terdata.

Ada pula beberapa faktor yang menyebabkan sulit mendata kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan. Faktor geografis, jarak tempuh yang jauh dan mengarungi lautan. Faktor ekonomis, harus mengeluarkan biaya yang besar untuk transportasi laut dan akomodasi selama di kota Dobo.
Dalam konteks kemeriahan kemerdekaan negara republik indonesia, kita diingatkan pada suatu refleksi inovatif untuk menjawab krisis HAM perempuan adat Aru. Perenungan saya sebagai seorang laki-laki, mengenal dan menjunjung tinggi hak-hak perempuan adalah makna terdalam di hari kemerdekaan ini.

Makna tersebut akan menjadi hidup jika secara bersama kita melakukan hal-hal berikut:

1. Pemda dan masyarakat melakukan sosialisasi tentang hak-hak asasi perempuan
2. Pemda menyediakan sarana prasarana P2TP2 (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan).
3. Pemerintah Pusat perlu menyediaan Speedboad Perlindungan (Spilind) untuk menjangkau                   perempuan korban KDRT di desa-desa.
4. Perlu adanya rapat koordinasi antar SKPD dalam penetapan program kerja yang memperhitungkan     dan mengakomodir hak-hak perempuan.

Di saat perempuan adat Aru bisa menikmati hak-haknya, di saat itulah awal sebuah kelahiran generasi baru berkualitas. Tanpa perempuan takan ada kelahiran, takan ada kehidupan. Jika mereka menangis bukan karena lemah, namun karena sudah lelah berpura-pura senyum meski hatinya terluka.

Dirgahayu negeri beta, bebaskan perempuan adat Jar Garia !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA