Masyarakat Kepulauan Tanakeke Menjerit, Pengusaha dan Penguasa Menambang Pasir
Ratusan warga Pulau Tanakeke berkumpul di masjid untuk mendiskusikan persoalan tambang pasir yang sudah berbulan-bulan meresahkan nelayan |
Penulis : R. Kottir
Aktifis LAPAR Sulsel
Jumat, 25 Agustus 2017, saya
berkunjung ke Kepulauan Tanakeke kecamatan Mappakasunggu yang terletak di
selatan Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, di Kepulauan ini terdapat lima desa
dan 9 pulau. Pulau Bauluang, Satangnga, Lantangpeo, Labbutallua Rewataya,
Kalukuang, Dayang-Dayangan, Tanakeke dan Tompotana.
Saya dan dua kawan, Badai dan
Imran mengunjungi Tompotana dengan menggunakan kapal di dermaga dimana tempat
warga menyebrang sepulang dari pasar, Kami berangkat pada pukul 09.30 wita.
Lama perjalanan menuju Tompotana sekitar kurang lebih satu jam.
Ini kali pertama saya mengunjungi
Pulau tersebut, sebelum kapal sandar di tepi saya memperhatikan air laut yang
sudah mulai keruh, disana juga terdapat alat tangkap rumput laut milik warga.
Di sebelah barat pulau ini ada hutan mangrove yang dilindungi, bahkan menurut
kawan ada peraturan desa (Perdes) jika hutan tersebut diganggu, maka melanggar
aturan desa.
Kami tiba di rumah Utta, salah
seorang warga, kami sejenak istirahat sebelum menemui warga di Tompotana
tersebut. Usai melaksanakan salat Jumat, kami bertiga berdiskusi dengan ratusan
warga yang hadir salat berjamaah, sebelumnya dalam isi khutbah membahas soal
tambang pasir. Kemudian dalam diskusi kami kembali membahas itu, warga
menyampaikan keresahannya semenjak kehadiran kapal boskalis mengambil pasir
yang tidak jauh dari pemukiman warga, di tempat dimana warga menangkap gurita.
Akibat tambang itu berdampak pada
kehidupan social ekonomi masyarakat, nelayan yang dulunya mendapat gurita,
ikan, kepiting dan rumput laut dengan mudah, kini semakin susah, pasalnya alat
tangkap yang dipasang nelayan terbawa oleh kapal pengeruk pasir, sebagiannya
lagi rusak. Meskipun nelayan sudah berulang kali melakukan aksi penolakan
tambang, namun perusahaan tambang tidak menghentikan penambangan. Pihak
perusahaan tidak mencabut surat izin yang sudah diberikan.
Sekitar 300 KK mendiami desa
Tompotana terdiri dari tiga dusun, berharap proses penambangan yang dilakukan
perusahaan itu segera dihentikan agar nelayan dapat kembali melakukan aktifitas
dan keberlanjutan hidup, jika penambangan terus dilakukan maka sumber ekonomi
wilayah kelola rakyat akan hilang. “Kami sangat menghargai alam di sini, ketika
melanggar maka kami akan didenda, tetapi kenapa tambang pasir dibiarkan dan
tidak ditindak oleh pemerintah”, kata Daeng Naba
Selain itu, menurut keterangan
warga, sebagian nelayan telah meninggalkan pulau untuk mencari pekerjaan sebab
sumber ekonomi masyarakat sudah tercemari dirusak oleh kapal raksasa boskalis.
Apa yang dilakukan oleh
pemerintah maupun perusahaan adalah tindakan pelanggaran HAM, penguasa dan
pengusaha telah menghilangkan masa depan generasi Tanakeke, selayaknya pemerintah
melindungi, menghargai dan menghormati keberadaan masyarakat di Pulau Tanakeke,
dengan mencabut surat izin prinsip yang diberikan oleh perusahaan tambang
tersebut.
Perusahan tambang hadir hanya
untuk kepentingan komersial atau kepentingan sekelompok orang saja, namun
bisnis tersebut tidak berdampak baik bagi kehidupan nelayan. Rakyat menjerit,
penguasa tak berdaya untuk menghentikan proses terjadinya pelanggaran
kemanusian.
Komentar
Posting Komentar