Cerita Pilu di Balik Kota Emas

Oleh: Adolfina Kuum 
Ketua Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh (Lepemawil – Mimti )
Koordinator Geham Timika Papua

Telah 50 tahun PT Freeport merenggut lahan emas di tanah Amungsa bumi Kamoro Timika. Lingkungan hidup tanah Amungsa bumi Kamoro telah diperkosa dan terkoyak oleh PT Freeport. Keberadaannya membawa malapetaka dan penderitaan bagi suku Amungme dan Kamoro sebagai pemilik tanah adat yang mendiami wilayah itu. Gunung-gunung keramat dirontoki, digunduli, dirusak, meluluhlantahkan tradisi warisan nenek moyang dan leluhur yang dijaga dan dirawat secara turun temurun di negeri itu.

Bagi suku Amungme gunung dan gua adalah tempat Keramat berdiamnya para leluhur. Namun tempat-tempat itu telah dirusak karena kekejaman manusia yang haus akan keserakahan modal dan kekayaan alam semata.

Suku Kamoro yang mendiami pesisir pantai menderita akibat limbah tailing yang dibuang begitu saja tanpa aturan dan prosedur. Sungai-sungai yang dulu mengalir indah dan jernih menyerupai bulu Cenderawasih, bergelimang harta menjadi tempat pencaharian Suku Amungme dan Kamoro, kini tinggal cerita. Makanan pokok yang membentuk ketahanan kehidupan masyarakat asli dari hasil berburu udang, kepiting, ikan di sungai dan tanaman pokok sagu lenyap sudah ditimbuni belerang limbah bebatuan PT Freeport.

Kondisi semakin parah lagi dengan perubahan pergeseran nilai budaya dan adat. Sadar atau tidak sadar, PT Freeport telah menciptakan teori ketergantungan dalam pola mencari makan, dan menghilangkan budaya tradisional dengan merampas tanah hak milik kedua suku besar itu; Amungme dan Kamoro. Semuanya demi memperluas lahan pertambangan mereka. Demi perut mereka sendiri.

Suku Amungme, mereka dipaksa pindah ke Kota Timika oleh PT. Freeport, meninggalkan dusun dan kampung mereka, Tembagapura. Padahal Tuhan sejak semula telah menciptakan dan menempatkan suku Amungme hidup hingga beranak cucu di sana, di bumi emas; Tembagapura. Namun, mereka diusir, harus angkat kaki dari Tanah miliknya sendiri. Padahal, nenek moyang dan leluhur mereka telah mendiami bumi itu puluhan tahun sebelum Freeport datang. Mereka datang merampas, mencuri mengambil semuanya dari pemilik Tanah emas itu. Hutan, dusun, lahan tempat berkebun mencari kebutuhan hidup dan makanan pokok serta tempat keramat sama sekali bukan sesuatu yang penting bagi mereka; para politisi, pimpinan, dan korporasi serta para pengambil kebijakan di negeri ini.

PT Freeport telah mengubah tatanan kehidupan mereka dengan memindahkan mereka ke kota akibat bencana limbah tailing ke sungai-sungai. Banyak tradisi masyarakat asli Kamoro yang musnah terkubur bersama lumpur limbah tailing itu. Tak ada lagi tradisi mendayung, barter dari kampung satu ke kampung lain. Karena mereka dipaksa untuk hidup di kota Timika. Tradisi berburu masyarakat asli suku Amungme juga hilang.

Perlahan tapi pasti, masyarakat diajarkan hidup tergantung di kota. Nasi, mie instan, dan jenis makanan cepat saji lainnya telah menggantikan sagu, petatas, keladi, kasbi, ikan dan makanan pokok asli bumi Cenderawasih lainnya. Budaya konsumtif yang berkiblat pada kapitalis telah merasuki kehidupan mereka akibat ulah PT. Freeport itu.

Masih bisakah kitorang ucapkan “Selamat Hari Lingkungan Hidup” untuk tanah Amungsa bumi Kamoro yang masih terus menangis tak berkesudahan ini?

Siaga II, Jakarta; 5 Juni 2017 –Dimana dunia memperingatinya sebagai Hari Lingkungan Hidup

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA