Dok. Pribadi
Hebatnya Orang Feruni
(Pengalaman Unik Perjalanan Advokasi AMAN Aru)

Oleh : Haroly Chundrat Darakay

Beberapa hari kemarin saya dan kawan-kawan aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Aru melakukan perjalanan advokasi terkait persoalan pemetaan wilayah adat. Sampailah kami di Natapen Feruni, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru. Dalam perjalanan di awal tahun 2019 tersebut, memang kami diperhadapkan dengan musim angin barat yang menakutkan, namun demikian, kami bisa menikmati momen-momen yang unik dan seru. Di bawah ini saya akan menceritakan secara singkat salah satunya.

Bagi sebagian orang Aru (terutama Pesisir Selatan Aru), musim angin barat adalah musim yang sangat menakutkan. Betapa tidak, angin kencang bisa menciptakan gelombang yang sangat tinggi, hingga mencapai 5 meter. Ketinggian seperti itu sangat membahayakan keselamatan manusia di laut. 

BMKG Maluku bahkan sampai mengeluarkan peringatan larangan berlayar bagi para nelayan dan pengguna transportasi laut. Angin barat (angin yang bertiup dari arah barat) biasanya bertiup pada bulan November hingga Maret tahun berikutnya. Kadang-kadang hanya pada akhir bulan Desember, awal Januari hingga awal Februari.

Datangnya angin barat berdampak langsung pada mata pencaharian masyarakat Aru dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Masyarakat Aru yang mata pencahariannya di darat, mungkin tidak terlalu risau dengan datangnya angin barat. Hasil kebun masyarakat kampung (Natapen) yang tidak bisa dijual ke Kota Dobo bisa dijual di dalam kampung atau pun ke kampung-kampung tetangga. Jadi, meskipun angin barat bertiup kencang, tetapi petani di kampung masih bisa mendapat rejeki dari hasil kebun mereka.

Sedangkan yang mata pencariannya di laut akan mengalami kesulitan. Umumnya mereka tidak bisa melaut di musim angin barat. Mereka kemudian mengubah haluan dengan mancari peruntungan di kebun-kebun mereka yang sudah lama tidak terurus lagi. Tidak melautnya para nelayan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat yang ingin memakan ikan laut.

Mengkonsumsi ikan laut bagi masyarakat Aru adalah sesuatu yang wajib. Tidak adanya ikan dalam menu makanan rasanya hambar. Menu makanan yang tidak ada ikan, dianggap tidak lengkap. Bagi mereka, Lebih baik tidak ada sayur daripada tidak ada ikan. Maka dari itu, sebagian besar pekerjaan masyarakat Aru di Natapen adalah nelayan.

Di musim angin timur, masyarakat akan leluasa melaut. Keuntungan yang didapat dari penjualan ikan pun sangat fantastis. Kalaupun tidak beruntung, paling tidak para nelayan masih bisa membawa pulang beberapa ekor ikan untuk dikonsumsi keluarga di kampung. Sebaliknya, jika musim angin barat tiba, mereka akan kebingunan mendapatkan ikan. Bahkan untuk konsumsi sehari-hari saja tidak ada. Para nelayan takut melaut di musim barat. Kencangnya angin barat dan tingginnya gelombang laut bisa membahayakan keselamatan mereka. Oleh sebab itu, lebih baik tidak makan ikan daripada hilang nyawa di laut.

Tapi jangan salah. Ketakutan tersebut tidak berlaku bagi semua orang di Natapen pesisir Aru Selatan. Salah satunya masyarakat adat Feruni. Seperti terlihat jelas dalam foto, nampak di sana tiga orang nelayan sedang bertolak ke laut Feruni untuk menjaring ikan. Sama sekali tidak ada ketakutan atas kecangnya angin maupun tingginya gelombang.

Saya yang saat itu sedang menikmati udara pagi di jembatan natapen terheran-heran menyaksikan keberanian nelayan Feruni. Saya yang baru pertama kali melihat moment itu, merasa deg-degan. Saat  itu angin benar-benar kencang dan gelombang laut sedang menggulung menggila. Saya bisa pastikan, para nelayan tersebut dalam keadaan sadar, bukan orang mabuk apalagi orang gila. Karena ketiga nelayan itu merupakan sodara saya.

“wow hebaaatt” 

Teriak saya disaat melihat perahu mereka membela gelombang yang menggulung. Moment itupun saya abadikan dalam bentuk video. Menyaksikan keberanian mereka memunculkan rasa deg-degan, takut dan kagum berbaur menjadi satu. Sebab perjuangan mereka sangat membahayakan keselamatan mereka sendiri.

Kira-kira dalam jarak 30 meter dari bibir pantai, sesuatu yang buruk terjadi. Saat sedang serius mendayung, tiba-tiba datang gelombang yang sangat besar. Ketiga nelayan itu tenggelam beserta perahu mereka. 

“oh my godness, mereka tenggelam” pikir saya “Mereka pasti akan berenang kembali ke darat”.

Ternyata tidak. Mereka hanya butuh beberapa menit untuk membuang ruang (air laut dalam perahu) dan kemudian menaikinya kembali. Mereka tidak pulang ke darat, tetapi terus mendayung perahunya hingga ke tengah laut dan menjaring ikan. Hasilnya, hari itu kami bisa menikmati ikan laut segar.

Saya sempat tak percaya, tetapi begitulah yang saya saksikan langsung, betapa hebatnya orang Feruni dalam menjaring ikan walau laut sedang bergelora.

Mungkin para pembaca berpikir kisah ini hanya sesuatu yang biasa-biasa saja. Bagi saya, ada pelajaran hidup yang bisa dipetik yaitu bahwa tantangan itu ada bukan untuk dihindari tetapi untuk dilalui. Mencoba menghindari tantangan sama halnya dengan membiarkan diri kita gagal. Sedangkan keberanian untuk menghadapi tantangan membuat kita tahu nikmatnya kesuksesan.

Kalau saja ketiga nelayan tadi takut menghadapi gelombang dan angin kencang tentu mereka gagal menikmati segarnya ikan laut yang bergizi. Tetapi karena keberanian untuk menghadapinya, maka gelombang dan angin kencang pun menjadi sungkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA