Inspirasi dan Aspirasi An Menjadi Pembelah HAM

Oleh: Nomi Kwambre
Aktifis GeHAM Papua

An terlahir dari rahim seorang perempuan Papua. Dimana sepanjang hidupnya, ia, -an punya Mama- menyaksikan banyak peristiwa mencekam. Dari waktu ke waktu, dan dari tempat satu ke tempat lain.
Misalnya saat mama tinggal di Abepura ia menyaksikan baku tembak antara aparat dangan masyarakat sipil. Dari kejadian baku tembak itu banyak orang menjadi korban. Bahkan rumah-rumah warga hancur akibat baku tembak. Kejadian itu mulai menimbulkan rasa trauma tersendiri dalam diri mama. Hingga saat menikah, mama pindah ke Arso, kabupaten Keerom di sanapun ia menjumpai situasi yang sama. 
Bahkan lebih mencekam. Karena Arso merupakan wilayah perbatasan, yaitu berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG). Di Arso juga banyak terjadi kekerasan. Misalnya camat Sunyoto yang ditembak hingga meninggal, dan pada saat bersamaan dua warga trans juga ditembak. Ketiganya meninggal di tangan masyarakat sipil. Setelah kejadian itu dilakukan penyisiran oleh aparat keamanan secara berlebihan hingga menimbulkan ketakutan masyarakat. Rententan kejadian itu belum berhenti sampai dengan an lahir, hingga rasa trauma mama terbawa atau menular pada diri an.
Saat an kecil berusia sekitar delapan tahun bapa sering mengajarkan an menyanyi lagu “Hay Tanahku Papua”. Tapi bapa pula yang melarang menyebut kata “Papua”.
“Jangan sebut-sebut nama papua nanti tentara tembak”, kata bapa.
Seiring waktu berjalan an dibentuk oleh keluarga dan lingkungan masyarakat yang punya trauma masa lalu. Di lingkungan itulah an bertumbuh menjadi seorang perempuan bernama Naomi yang mulai tahu tentang masalah Papua, namun an tidak terlalu peduli dengan masalah itu.
Kata orang, Papua itu ibarat surga kecil yang jatuh ke bumi. Surga ini menjadi rebutan banyak orang. Mereka pergi menuju surga ini dan menginjak-injak kami pemilik surga ini. Kecantikan Papua diincar sejak Belanda menguasi Papua. Pada saat pepera tahun 1969 Papua terintergrasi ke Indonesia di situlah surga berubah menjadi neraka, kami tak lagi menikamati apa yang menjadi milik kami.
Sejarah dan fakta saat ini tentang Papua serta cerita Mama an dan rasa trauma masa lampaunya, sesungguhnya belum menuntun an menentukan masa depan an sebagai perempuan Papua. Pilihan hati nurani kemana an harus melangkah dan apa yang harus an buat untuk diri an sendiri, untuk orang di sekitar an dan untuk Tanah Papua, belum terbayang.
Pada 2013 an berhasil lulus kuliah. An mendapat hadiah berwisata ke Wamena dari Pastor Jhon Djonga. Ia adalah tokoh yang berjasa dalam hidup an, sekaligus panutan an. Di Wamena itulah, an mulai berkenalan dengan kerja-kerja kemanusiaan dengan bimbingan Pastor Jhon Djonga. Meskipun saat itu an belum berpikir untuk terlibat dalam gerakan atau organisasi. Saat itu Yayasan Teratai Hati Papua yang di pimpin oleh pastor Jhon Djonga sedang membutukan pekerja HAM dan tidak an duga, an-lah yang mendapat kesempatan itu. Dan ternyata itulah yang menjadi panggilan hati an. Karena situasi orang Papua yang belum merdeka dalam segala aspek kehidupan, dan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara terus dibiarkan tanpa penyelesaian membuat an terpanggil untuk bergerak.
Dari ketidakadilan yang dialami oleh orang Papua, an berkomitmen untuk bergerak dan memberikan sumbangsih. An ingin bisa menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan dan penegakkan keadilan untuk orang Papua melalui tulisan.
Melalui tulisan, an dapat menyebarkan pengetahuan yang an punya pada komunitas, mengangkat masalah-masalah orang Papua, dan membebaskan pikiran semua orang.

Jakarta, 3 Maret 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA