Inspirasi dan Aspirasi Saya Menjadi Pembela HAM

Oleh: Adolfina Dolie Kuum
Aktifis GeHAM Papua

Saya anak kelima dari tujuh bersaudara. Saya lahir di sebuah kampung kecil bernama Agimuga. Agimuga merupakan salah satu distrik yang berada di “lahan emasnya“ Freeport: Timika
Agimuga terletak di wilayah dataran rendah, antara pantai dan gunung. Sejak kecil saya terinspirasi cerita tentang ayah saya. Semasa hidupnya ia berjuang demi sekolah. Pada usia 12 tahun dia melarikan diri dari keluarga, dan secara sembunyi-sembunyi mengikuti missi penyebaran agama sampai di wilayah pesisir pantai Omoga, sangat jauh dari keluarga. Tujuan ayah hanya satu: ingin menjadi seperti mereka, para missionaris. Dengan begitu ia jadi manusia yang berpendidikan. Ayah memandang bahwa pendidikan adalah senjata bagi hidupnya.
Konon, menurut cerita para orang tua, zaman dulu sangat sulit mendapatkan pendidikan. Tapi ayah saya sebagai seorang anak yatim yang hanya punya mama, saat itu bisa berjuang, demi memperoleh pendidikan. Perjuangan ayah tidak sia-sia. Hingga ia menjadi seorang guru, tokoh masyarakat dan katakis agama yang menjadi panutan masyarakat Agimuga saat itu. Ayah memiliki kharisma seorang pemimpin. Masyarakat menghormati beliau. Bahkan orang-orang Pemerintahanpun segan pada ayah saya. Melalui pendekatan adat, spiritual, dan kepandaian ayah sebagai pemimpin masyarakat, ia mampu mengamankan situasi Daerah Operasi Militer (DOM) pada rezim Orde Baru di Agimuga.
Dalam ingatan saya, semasa saya kecil Ayah juga sudah mulai berjuang melawan Freeport. Saat itu, ia pindah dari Agimuga ke Timika, lalu ke Agimuga lagi dan ke Timika lagi. Begitu terus. Kami punya rumah juga di Timika.
Kisah hidup ayah saya itu, menjadi inspirasi hidup saya. Bagaimana saya seorang perempuan Papua bisa seperti ayah saya, memiliki pendidikan meskipun saya tinggal di kampung yang jauh dari kota dengan segala keterbatasan. Bahkan saya juga ingin menjadi “sakti” seperti ayah, yang ditakuti dan mampu melumpuhkan militer. Saya berjuang untuk mencapai cita-cita itu. Saya masuk Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar hingga SMP di Agimuga. Lalu, pada 1996 saya mendapatkan beasiswa, saya pindah ke Jayapura untuk melanjutkan sekolah di SMA Gabungan. Saya tinggal di Asrama Misi Katolik Karitas. Beasiswa itu saya peroleh, tak lepas dari jasa-jasa ayah saya dalam pengembangan misi gereja dan agama.

Namun, pada 1999 saya kembali ke Timika. Saya pindah ke SMA Negeri 1 Timika. Hari-hari saya di asrama Karitas Jayapura diliputi kerinduan pada keluarga, khususnya ayah saya. Saya ingin hidup di dekatnya. Ternyata, kerinduan itu adalah sebuah panggilan. Pada 10 Oktober 1999 saya kehilangan inspirasi hidup saya. Ayah meninggal dunia. Ayah meninggal di saat ia bersama teman-temannya berjuang merebut keadilan bagi Suku Amungme yang dirampas oleh Freeport. Malam itu, 9 Oktober 1999 Timika diguyur hujan lebat, petir membelah langit Timika. Para Tua Tua Adat melihat dari Honai ada kilatan petir seolah membelah Gunung Emas Tembagapura.
“Aduh, ada kilat membelah gunung emas. Besok ada yang tokoh yang meninggal. Siapa?”, kata mereka
Hari itu, 9 Oktober 1999, Ayah pergi sendiri tanpa teman-temannya. Ia mengendarai sepeda motor ke Kuala Kencana, ke arah di mana kantor Freeport berada. Ayah belum pulang juga sampai malam. Hingga di waktu subuh, saya mendengar suara Mama-mama berteriak keras di depan rumah saya. Ia meneriakkan kalau ayah saya sudah meninggal dan mayatnya ada di jalan. Masih dengan pakaian tidur saya berlari ke jalan raya besar untuk melihat kondisi ayah saya, kira-kira 50 meter dari rumah. Begitu juga Mama, Kakak-kakak dan adik-adik saya.
Di sana orang-orang sudah berkerumun, mengelilingi ayah. Mereka menangis. Polisi dan tentara juga ada di situ, mereka berseragam. Saya hanya bisa duduk, melihat dari jauh. Kemudian saya pingsan.
Ayah dibawa ke rumah oleh mereka. Sementara saya dibawa ke rumah kakak sepupu saya. Ia seorang suster. Di sana saya diobati hingga saya sadar.
“Di mana sap u Bapa? Sa harus lihat?, begitu sadar, saya langsung mencari ayah saya.
Kakak saya mengganti baju tidur saya, ia mengantar saya pulang ke rumah duka. Suasana duka tidak saya dapati di rumah. Namun suara-suara masyarakat yang berteriak mau melawan Freeport. Mereka tidak terima dengan kepergian ayah saya. Polisi bilang ayah saya ditabrak oleh bis karyawan Freeport. Namun kondisi motor yang dikendarai ayah saya masih utuh. Tidak ada kerusakan. Sementara kedua tangan ayah patah, kepala hancur.
Hati saya hancur. Setelah ayah meninggal, Mama mulai sakit-sakitan. Tapi ia terus mendukung saya untuk meneruskan sekolah. Tidak ikut memikirkan Ayah. Ia mengingatkan saya agar jika saya ingin seperti Ayah, maka saya harus sekolah. Tapi saya melawan Mama. Saya mau mencari kerja saja. Lulus SMA saya tidak langsung kuliah.
Baru pada tahun 2000 saya melanjutkan kuliah ke STIBA di Manado. Setahun kemudian, Mama menyusul Ayah karena sakit. Di tahun itu pula saya pindah kuliah ke yogjakarta, berjuang mendapatkan pendidikan. Saat itu saya mulai berfikir bahwa saya harus melanjutkan perjuangan ayah. Saya tidak pernah pulang ke Timika selama saya menempuh kuliah di Jogja. Hingga saya berhasil wisuda pada 2007. Di tahun itu baru saya kembali ke Timika.
Di Timika saya aktif dalam organisasi gerakan. Tapi saudara-saudara saya meminta saya untuk ikut tes Pegawai Negeri Sipil. Namun saya menolak. Karean jika saya menjadi PNS sulit bagi saya untuk melawan sisitem ketidakadilan yang terjadi di Timika.
Melihat hak-hak dasar suku Amungme yang ditindas dan diabaikan oleh Negara dan Freeport, saya berfikir untuk bergerak lebih aktif. Lalu pada 2013 saya bersama sekitar lima orang Suku Amungme mendirikan Forum Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh. Pada mulanya forum ini memiliki kegiatan utama memberikan pemberdayaan masyarakat di kampung-kampung yang terkena dampak limbah Freeport.
Saya dan Suku Amungme membesarkan Forum tersebut secara mandiri. Tidak ada bantuan dana dari pihak manapun. Namun kami ingin forum ini terus hidup. Hingga pada 2015 forum ini berubah status menjadi Lembaga yang berbadan hukum.
Tantangan dan hambatan berat datang silih berganti dalam perjuangan ini. Sebagai pembela HAM saya ingin Suku Amungme hidup bermartabat, dihormati dan dipenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia. Dapat menikmati kekeyaan alam Timika yang merupakan hak-haknya. Melalui Lembaga yang saya bentuk, saya ingin mewujudkan itu. Saya harus meneruskan perjuangan ayah saya: Anton Fr. Kuum.
Jakarta , 24 Maret 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA