Mengapa Aku Menulis

Oleh: Dara
Aktifis GeHAM Aceh

Ketika aku masih duduk di Sekolah Dasar, Ayahku membelikanku sebuah buku harian yang kami beli bersama disebuah toko serba lima ribu berjarak tidak jauh dari rumah. Ia mengatakan untuk menuliskan apa yang aku alami sehari-hari di sekolah dan lingkungan bermainku kemudian simpanlah di tempat yang baik agar tidak ada orang yang bisa mengganggunya apalagi adikku yang ketika itu masih kecil dan suka merobek-robekkan buku-buku. 
Berangkat dari satu buku harian pemberian ayahku seharga lima ribu rupiah itu, aku mulai menulis setiap hari sampai lembaran buku itu habis dan kemudian aku terus membelinya lagi dan lagi untuk kembali menulis dari aku kecil hingga remaja. Segala cerita yang tertuang didalamnya beragam, dimulai dari rok sekolahku terkena permen karet, jatuh dari sepeda, rasa kesal pada ibuku, bahkan sampai ketertarikan pada orang lain. Sebagian orang mengatakan bahwa menulis buku harian adalah hal yang tidak penting sama sekali dan membuang-buang waktu, lalu aku berpikir mengapa dulunya ayahku memberikan mainan yang tidak penting untukku sedangkan teman-teman seusiaku memiliki mainan yang lebih bagus dan mahal. Pada akhirnya aku pahami bahwa investasi ayahku seharga lima ribu rupiah tersebut adalah investasi yang lebih mahal, mungkin pada saat itu ia sedang mengajakku belajar untuk menulis. 
Pada seusianya saat itu ia telah tau bahwa menulis bukanlah hal yang mudah dan bisa di kerjakan secara ajaib namun haruslah menempuh proses pembelajaran yang lama. Dan ia telah mengajariku pada saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Melalui perjalanan berapa belas tahun yang lalu aku menemui bahwa ayahku sedang menjebloskanku pada catatan sejarah dan aku mestilah berada didalamnya. Jika ingin hidup seribu tahun lagi seperti sebuah kutipan dalam syair puisi Chairil Anwar maka menulislah. Bahkan Tuhan sendiri tidak akan membuatmu mati, kau akan hidup dalam lembar-lembar buku. meski di gerayangi oleh rayap, tapi pustaka demi pustaka akan membiarkanmu hidup dalam rak-rak yang berjejer rapi dari masa demi masa. Atau secara kekinian kata demi kata yang tertulis akan pergi dari layar kelayar melalui kabel selular ke tiap masa, kepada setiap orang.
Jakarta, 9 maret 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA