Kembalikan Hak Kami, Hak Atas Tanah Adat Aru

Oleh: Hard Darakay
Aktivis HAM Aru


Part 1

Seiring dengan tuntutan pembangunan di Kab. Kepulauan Aru, kasus perampasan hak atas tanah adat terus meningkat. Tindakan perampasan itu terjadi dalam berbagai bentuk sehingga perlu ketelitian dalam penyelesaiannya. 

Melalui artikel sederhana ini, saya sebagai aktifis HAM mencoba menyajikan satu contoh kasus, kemudian menganalisis dari sudut pandang HAM. Pada proses pengkajian ini akan ada beberapa instrument hukum perdata, mungkin juga pidana untuk mempertajam analisis yang dikemukakan.

Kasus pertama (Part 1) ini merupakan kasus nyata yang terjadi di Kota Dobo. Namun aktor asli disamarkan, demi menjaga privasi yang bersangkutan. Istilah Jar Juir dan Non Jar Juir dalam tulisan ini merupakan suatu term pembeda antara Suku Asli Aru dan yang bukan Asli Aru. Pembedaan ini tidak bermaksud diskriminasi suku tertentu, tetapi suatu ketegasan tentang subjek yang sedang diceritakan dalam contoh kasus. 

Sekali lagi, saya tegaskan bahwa semua suku di atas tanah ini tentu memiliki niat baik bagi Jar Garia. Namun ada beberapa oknum yang kurang pengetahuan dan pengalaman, cenderung berbuat ulah yang kemudian digeneralisir kepada satu suku tertentu. Hendaklah tulisan ini tidak membuat perpecahan di antara kita sesama manusia.

Contoh Kasus

Bapak Petu merupakan suku Jar Juir yang domisili Kota Dobo, berkebun di tanah kosong sekitar Kota Dobo selama beberapa tahun lamanya. Tidak pernah ada gangguan atau ancaman dari pihak manapun. Dalam kebun itu, Bapak Petu menanam berbagai jenis tanaman termasuk tanaman jangka panjang seperti Pohon Kelapa.

Setelah beberapa tahun lamanya berkebun, Bapak Petu mengurus Surat Pelepasan Hak (SPH) atas tanah pada Pemerintah Desa Wangel. Sekarang dia sudah memiliki Surat Pelepasan Hak (SPH) atas tanah, juga sudah melalui prosedur di notaris. Bapak Petu kemudian mau mengurus sertifikat pada Badan Pertanahan Kab. Kepulauan Aru. Belum sempat mengurus setifikat, datanglah Bapak Sam (Non Jar Juir) mengklaim sudah memiliki sertifikat atas tanah yang selama ini ditempati Bapak Petu. kemudian menyuruh Bapak Petu segera angkat kaki dari tanah tersebut.

Bapak Petu dengan tegas menyatakan tidak akan angkat kaki dari tanah tersebut karena dirinya merupakan suku asli Jar Juir, kemudian sudah mengantongi SPH dari  Desa Wangel. Sebaliknya Bapak Sam yang non Jar Juir tidak memiliki SPH. Kasus ini sempat melibatkan aparat penegak hukum, namun tidak pernah sampai ke pengadilan.

Analisis Singkat

Merujuk pada pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UU no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, kemudian Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maka Surat Pelepasan Hak (SPH) yang dimiliki Bapak Petu mendapat pengakuan atas legalitasnya. Apalagi SPH tersebut dibuat di hadapan notaris sehingga kekuatan pembuktiannya cukup kuat.
SPH itu kemudian akan dijadikan dokumen bukti perolehan tanah saat pembuatan Sertifikat Tanah ke Kantor Pertanahan Aru. Hanya saja, dengan pertimbangan keuangan dan kesibukan lainnya sehingga Bapak Petu belum bisa membuat Sertifikat Tanah. 

Di lain pihak, Bapak Sam sudah memiliki Sertifikat Tanah pada lahan yang sama. Menurut UU no. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, kemudian PP no. 4 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah disebutkan Sertifikat Tanah itu adalah surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pertanyaannya, darimana Bapak Sam mendapat sertifikat itu tanpa ada SPH dari desa Wangel? Sedangkan penjelasan dalam undang-undang di atas, untuk memperoleh Sertifikat Tanah wajib memiliki SPH. Karena jika tidak ada SPH, Badan Pertanahan Aru tidak bisa mengeluarkan Sertifikat Tanah. Bahkan Sertifikat tersebut bisa dibatalkan karena cacat hukum (lih Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan).

Untuk menyikapi permasalahan ini, secara adat-istiadat yang berlaku di Aru tentu bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa juga bisa mengajukan surat pengaduan ke Kepala Badan Pertanahan Aru. Pejabat yang bertanggungjawab menangani sengketa, konflik dan perkara pada Kantor Pertanahan akan melakukan pengumpulan data kemudian menganalisa masalah tersebut. Jikalau kasus ini benar-benar merupakan ranah Kementrian atau (Badan Pertanahan) maka Pejabat Kantor Pertanahan perlu melakukan proses penyelesaian sengketa.

Proses penyelesaian sengketa itu belum termasuk dalam proses litigasi. Jika proses di BPN Aru belum ada menghasilkan kemufakatan, maka kedua belah pihak bisa menempuh jalur litigasi. Biasanya pada tingkat itu, bukan lagi disebut sengketa tanah melainkan perkara tanah. 

Sampai pada ranah litigasi, masing-masing pihak perlu mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung. Kepolisian dalam ranah ini tidak punya kewenangan untuk menyelesaikan sengketa/perkara tanah. Kepolisian boleh terlibat manakala ada potensi perbuatan pidana oleh pihak-pihak yang berperkara. Akan keliru jika kita berharap perkara perdata segera diselesaikan kepolisian.

Dalam ranah litigasi, Bapak Petu punya beberapa kekuatan yang bisa dipakai. Selain beberapa peraturan perundang-undangan di atas, ada juga yang lain seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012. Beberapa UU sektoral seperti UU no 6 tahun 2014 tentang Desa, sebagai legitimasi posisi Wangel sebagai Desa yang punya otoritas hukum atas wilayah adatnya.

Sebaliknya, tidak adanya SPH dari Desa Wangel pada dokumen-dokumen yang dimiliki Bapak Sam bisa mengurangi keabsahan Sertifikat Tanah yang ia miliki. Sekaligus merendahkan otoritas Pemerintah Desa Wangel sebagai pemilik sah tanah di wilayah adat.

Dalam persepektif HAM, Negara tidak boleh diam, harus ada tindakan proaktif Pemerintah Daerah dalam proses penyelesaian yang damai dan win-win solution. Tugas Negara dalam hal ini adalah memenuhi hak atas tanah warganya secara berkeadilan. 

Menurut Deklarasi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Penduduk Asli (Pribumi) dalam sesi ke-61-nya di Markas PBB di New York, 13 September 2017, menegaskan tentang hak individual dan kolektif para penduduk asli (pribumi) dan juga hak mereka untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan hak atas pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat adat. 

Deklarasi ini juga melarang diskriminasi terhadap penduduk asli dan memajukan partisipasi masyarakat adat secara penuh dan efektif dalam segala hal yang menyangkut masalah-masalah mereka, termasuk hak untuk tetap berbeda dan mengusahakan visi pembangunan ekonomi dan sosial mereka sendiri. 

Kesimpulan

Kasus agraria di Kepulauan Aru selalu ada setiap tahun, dengan berbagai bentuk yang berbeda. Masyarakat Adat Aru lebih sering diperlakukan tidak adil dalam proses penyelesaian. Ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan hukum tentang hak-hak sebagai penduduk asli. Di lain pihak, Negara (Pemda, Badan Pertanahan, Kepolisian) cenderung memainkan peran yang tidak serius untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat adat Jar Juir.  

Semoga melalui tulisan sederhana ini, Negara bisa hadir secara serius untuk memberikan rasa adil bagi masyarakat adat sebagai pemilik pusaka Jar Garia. Rasa adil yang di dapat masyarakat adat otomatis mengurangi kasus agraria di atas tanah ini.  

Mengapa Jar Juir Nge-kost di Tanahnya Sendiri ???

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA