Larangan Menyuarakan Perdamaian dan Anti Rasis di Wamena
Penulis: Stilman Renggi
Aktifis HAM Papua
Aktifis HAM Papua
Pengantar
Nuansa
keadilan di Tanah Papua menjadikan suara kemanusiaan sulit untuk didapatkan.
Ruang yang terus terintimidasi dan berujung kekerasan terhadap suara Hak Asasi
Manusia (HAM)
kesannya tertutup. Kebebasan berkumpul dan berdiskusi terus dibatasi.
Konsekuensinya, sejumlah aksi damai menyuarakan aspirasi dibubarkan. Bahkan,
para pelajar Papua yang menyuarakan pendapatnya di muka umum ditangkap hingga
terjadi pembunuhan. Peristiwa tersebut nampak di Wamena Kabupaten Jayawijaya,
Papua. Aksi menyalurkan suara dari siswa sekolah – sekolah menengah di Wamena
dianggap berseberangan dengan negara dalam kebebasan berekspresi. Kejadian ini
lahir disaat ucapan rasis terhadap masyarakat Papua terdengar dan mejadi
sorotan publik.
Pada
23 September 2019, aksi spontanitas siswa di Wamena terbentuk dengan adanya
sejumlah gerakan. Namun tindakan represif dan intimidasi lagi – lagi
ditunjukkan oleh alat Negara yang memiliki kekuasaan. Semangat untuk meluruskan
dan meminta pertanggungjawaban ucapan rasisme terus disuarakan para siswa.
Perlawanan damai yang ditunjukan oleh generasi muda di Wamena guna meminta
keadilan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Mereka menuntut penuntasan dan
penyelesaian pelanggaran HAM terhadap rasisme dengan turun ke jalan. Aksi siswa
di Wamena menjawab bagaimana isu rasis menjadi sangat diskriminatif terhadap
masyarakat di Papua. Antusias siswa pada saat aksi terus diperlihatkan dengan
perjuangan walaupun mendapat tekanan.
Bahasa
dan ucapan rasis sebelumnya sudah diperlihatkan kepada mahasiswa Papua.
Tindakan berlebihan oleh aparat keamanan serta ormas di Malang dan Surabaya
mengeluarkan kata – kata rasisme. Pada 16 Agustus 2019, represif dan intimidasi
aparat keamanan dan ormas menjadikan hak asasi manusia benar – benar terenggut.
Desakan mahasiswa dan seluruh masyarakat Papua menuntut penyelesaian
mendapatkan tindakan kekerasan, baik dari aparat keamanan maupun dari kelompok
masyarakat yang berbeda sikap dan pandangan terkait persoalan Papua.
Aksi
yang seharusnya damai menjadi aksi anarkis dengan gesekan dari aparat keamanan
dan kelompok masyarakat yang berbeda sikap dan pandangan. Sehingga penyebaran
informasi menjadi perhatian yang memberatkan perjuangan seluruh elemen
masyarakat Papua yang lahir dari isu rasisme. Pandangan dan aspirasi
penyelesaian hak asasi manusia menjadi agenda yang terus dilawan oleh negara
melalui aparat keamanan kepada pelajar dan masyarakat Papua.
Pembubaran,
pemukulan, penangkapan dan pembunuhan juga dirasakan oleh siswa sekolah menegah
di Wamena dengan keterlibatan aparat keamanan. Tidak hanya aparat, masyarakat
sipil yang menamai diri barisan nusantara juga turut berdosa dalam peristiwa
rasisme di Wamena. Tindakan tidak terkontrol lagi – lagi diperlihatkan aparat
keamanan kepada para siswa yang melakukan aksi dan dianggap menjadi ancaman di
muka umum.
Ucapan
rasisme kembali terdengar di Wamena Kabupaten Jayawijaya, Papua. Bermula dari
salah satu tenaga pengajar (guru) di salah satu sekolah menengah di Wamena.
Tindakan guru tersebut menjadi buah bibir dikalangan para siswa pada saat itu.
Para pelajar mengakui tindakan yang dilakukan sosok guru ekonomi di SMU PGRI
Wamena merupakan ucapan rasis. Dari ucapan rasis, rencana aksi dari para siswa di
Wamena melakukan long march
ke Kantor Bupati tidak berjalan damai karena di hadang aparat keamanan
(TNI/Polri) dan ormas. Tidak menghilangkan antusias siswa untuk terus melakukan
aksi menuju kantor Bupati walapun mendapat tekanan.
Ucapan Rasis di SMU PGRI Wamena
SMU
PGRI Wamena merupakan nama sekolah yang beralamat di Jalan Bhayangkara Wamena.
Sekolah yang menjadi awal mula pergerakan siswa terhadap ucapan rasis. Seorang
tanaga pengajar (guru) mata pelajaran Ekonomi, Ibu Riris T. Panggabean S.Pd
menggeluarkan kata rasis kepada seorang siswa. Sosok guru berstatus sebagai
guru honorer mengisi sementara waktu mengantikan Ibu Guru Elfrida Panjaitan,
S.Pd yang sedang mengikuti sertifikasi di Makassar untuk bidang studi Ekonomi.
Pengangkatan guru honorer Ibu Riris yang dilakukan oleh guru bagian kurikulum
yaitu Pak Marden Saragih, S.Pd. Pengenalan Ibu Riris sebagai guru honorer SMU
PGRI Wamena dilakukan pada hari Selasa, 17 September 2019 dihadapan guru –
guru.
Sekolah SMU PGRI, Jln.
Bhayangkara Wamena.[1]
Setelah
pengenalan keesokan harinya, Ibu Riris langsung masuk dan mengajar di kelas XI
IPS 2 dengan bidang studi ekonomi pada tanggal 18 September 2019. Saat itu jam
kedua mata pelajaran di hari Rabu sedang berlangsung kegiatan belajar mengajar.
Adapun jumlah siswa sebanyak 31 orang yang mengikuti pelajaran ekonomi dari Ibu
guru Riris. Ketika mengajar sosok guru ini menuliskan beberapa paragraf di
papan tulis. Salah satu siswa bernama Anton Pahabol diminta untuk membaca
tulisan.
Tulisan
di papan tulis yang Anton bacakan terdengar lambat atau terputus – putus.
Kemudian ada ungkapan yang kesannya menegur dari Ibu guru Riris. Ucapan yang
dikeluarkan Ibu Riris kepada siswa dengan kata “ kamu baca seperti monyet “. Ucapan yang dikeluarkan guru
didengarkan oleh seluruh siswa di dalam kelas XI IPS 2. Adapun rasa
ketidakpuasan Anton Pahabol dengan ucapan tersebut. Aksi protes secara langsung
dilontarkan kepada Ibu guru “ mengapa
saya dikatakan baca seperti monyet”. Mendengar protes dari Anton, serentak
disambut oleh siswa sekelasnya.
Seorang
guru SMU PGRI mengatakan “ saya sebagai
guru belum bisa melihat kebenarannya. Yang benarnya seperti apa kami juga belum
terlalu mengerti. Yang pada saat itu anak kelas XI IPS 2 dengan Ibu guru
tersebut” .[2]
Situasi
semakin ramai pasca ucapan rasisme pada hari rabu tanggal 18 September 2019.
Keadaan menjadi tidak terkendali dan memanas dikalangan siswa sekolah. Suasana
belajar mengajar jadi tidak produktif terutama siswa yang menerima materi
pelajaran dari Ibu Riris. Sementara kenyamanan sudah tidak lagi dirasakan para
siswa. Guru – guru melihat aktivitas siswa sudah dengan kelompoknya masing –
masing. Terlihat aktivitas pengelompokan siswa pada jam – jam istirahat sekolah.
“ Kami melihat aktivitas siswa sangat
lain dengan membentuk kelompok – kelompok saat jam isitirahat sekolah. Adapun
terdengar bahasa rasis keluar dari mulut para murid. Sehingga buat kami guru –
guru curiga dengan para siswa, ada apa dengan para siswa “.[3] Keadaan yang semakin memanas
untuk melanjutkan proses belajar mengajar. Sehingga perkara dilimpahkan ke
bagian kesiswaan di Sekolah SMU PGRI. Tujuan dari pihak sekolah untuk memediasi
dan mengklarifikasi secara tenang dan damai terhadap peristiwa yang terjadi
dalam kelas XI IPS 2.
Pada
tanggal 21 September 2019, permasalahan tersebut ditangani bagian kesiswaan
oleh Ibu Guru Debora Agapa, S.Pd. Ketika dimediasi pertanyaan pertama diberikan
kepada Ibu Guru Riris yang diduga megeluarkan kata – kata rasis. Ibu guru
menjelaskan bahwa ia tidak mengatakan kepada siswa “ kamu baca seperti monyet “, tapi saya sampaikan “ kamu baca tersendat – sendat “. Namun
sebaliknya, pertanyaan kedua diberikan kepada Anton Pahabol, sebagai siswa
bersangkutan mengakui tindakan yang dilakukan sosok guru ekonomi merupakan
ucapan rasis.
Dari
infromasi peneliti di lapangan, bagian kesiswaan melalui Ibu Debora menanyakan
persoalan itu kepada seluruh siswa dari kelas XI IPS 2, mereka serentak
menjawab bahwa Ibu guru sampaikan “ kamu
baca seperti monyet. Kami semua mendengarnya”. Ketidakpuasan dirasakan oleh
bagian kesiswaan. Dipanggilnya 2 orang non Papua masuk di dalam ruangan khusus.
Tidak ada siswa lain, hanya 2 anak non Papua dan guru bagian kesiswaan.
Pertanyaan yang sama diberikan kepada kedua anak tersebut. Kedua siswa itu
saling memandang dan ragu – ragu, kemudian menunduk dengan sikap takut tidak
menjawab.
Melihat
ekspresi kedua anak non Papua itu, bagian kesiswaan meganggap hal sepeleh dan
perkara ini tidak akan berkembang hingga keluar sekolah. Lalu keputusan yang
diambil secara inisiatif yaitu saling minta maaf antara guru dan siswa.
Sekalipun masalah tidak tuntas karena saling bertahan pendapat masing – masing
antara Ibu Guru Riris dan para siswa.
“ Akhirnya bagian kesiswaan pergi dan
bertanya kepada para siswa. Ternyata ada kata – kata rasis yang terdengar.
Untuk penyelesaian itu bagian kesiswaan mengambil keputusan untuk atur damai.
Siswa juga tetap dengan apa yang mereka bilang dan Ibu guru juga seperti itu.
Bagian kesiswaan memanggil kedua orang tersebut yang bersangkutan untuk saling
meminta maaf dan juga keseluruhan siswa di kelas XI IPS 2 “.[4]
Ibu
guru Riris T. Panggabean S.Pd sebagai guru yang baru saja masuk dan mengajar di
sekolah SMU PGRI. Mengajar dari tanggal 17 – 21 September 2019 dan terhintung 5
hari melangsungkan pengajaran, sosok guru ini menciptakan ketidaknyamanan
antara guru dan siswa. Aktivitas belajar mengajar tidak bisa dilanjutkan
setelah ucapan rasis hadir di tengah para siswa. Di sekolah, suluruh siswa
bergerak dan mulai memobilisasi. Melihat keadaan itu pihak sekolah mengambil
kebijakan untuk memulangkan seluruh siswa sebelum jam pulang sekolah.
Gerakan Siswa Menolak Rasisme dan
Pelarangan Bersuara
Siswa
SMU PGRI Bersuara
Sebagian
besar penolakan rasisme di Wamena murni lahir dari gerakan kaum muda.
Pengorganisiran dan mobilisasi massa memiliki kekuatan secara kolektif.
Sejumlah gerakan sehubungan dengan isu rasisme di Wamena berkembang ditengah
para siswa di sekolah - sekolah dan masyarakat secara umum. Adapun upaya untuk
menuntut, menuntaskan atau menyelesaikan masalah rasisme yang diucapkan oleh
Ibu guru Riris kepada siswa Anton Pahabol. Gerakan ini lahir dari bentuk
komitmen bersama terhadap upaya memperjuangkan hak asasi manusia yang adil dan
Kota Wamena yang penuh damai.
Pada
tanggal 23 September 2019, aksi kaum muda dari sekolah – sekolah di Wamena
menjadi gerakan ideologi yang akan terus diperjuangkan. Hari senin pagi,
seluruh sekolah menegah di Wamena akan melaksanakan ujian tengah semester
(UTS). Setiap sekolah dan guru sudah menyiapkan soal ujian. Para siswa
diwajibkan datang tepat waktu sesuai jam sekolah untuk menerima ujian dari
guru. Sebagai lembaga pendidikan, SMU PGRI juga terlibat mengikuti ujian UTS.
Setiap
hari senin sekolah – sekolah di Wamena wajib mengikuti upacara bendera baik
guru maupun murid. Namun berbeda dengan sekolah SMU PGRI, yang pada saat itu
siswa melakukan pemalangan dan penyanderaan kepada guru sekolah. Tindakan
tersebut dengan tujuan menuntaskan atau menyelesaikan masalah rasisme yang
diucapkan oleh Ibu Guru Riris kepada Anton Pahabol. Mereka menilai proses
penyelesaian oleh bagian kesiswaan pada hari sabtu belum terselesaikan.
Sehingga menuntut kehadiran Ibu Riris dikeluarkan dari sekolah dan diproses
hukum yang berlaku.
Pagi
hari di SMU PGRI para guru dan siswa sudah berdatangan. Tetapi ucapan rasis
oleh sosok Ibu Riris nampaknya sudah menyebar di kalangan siswa sekolah –
sekolah di Wamena. Ucapan rasis sepertinya sudah terdengar bukan hanya di
Wamena namun menjadi momok yang sedang panas di telinga masyarakat Papua. Pada
16 Agustus 2019 tindakan berlebihan aparat kemanan dan ormas, di Malang dan
Surabaya juga mengeluarkan kata – kata rasis. Isu rasisme menjadi hal yang
sangat sensitif dan para siswa di Wamena dengan mudah terpengaruh.
Sebelumnya
pada dini hari, orang tak dikenal masuk lingkungan sekolah SMU PGRI Wamena,
memicahkan kaca – kaca ruangan, papan tulis dan pintu. Jumlah ruangan sekolah
ada 17, baik ruang kelas, ruang guru, ruang tata usaha dan ruang perpustakaan.
Pelaku hingga sekarang tidak diketahui. Melihat hal tersebut pihak keamanan
sekolah (Satpam) mengambil langkah untuk mengunci pagar sekolah.
” Teman guru datang dan beri tau bahwa alasan siswa tidak mau membuka
pagar sekolah. Dan kepala sekolah bilang buka saja. Setelah pagar dibuka
guru-guru hendak melakukan apel pagi. Namun para siswa dan juga beberapa orang
alumni masuk. Dan melakukan komunikasi kasih kepada pihak SMU PGRI “.[5]
Komunikasi
antara siswa dan pihak sekolah berlangusung halaman sekolah SMU PGRI Wamena.
Siswa mengatakan bahwa kepala sekolah tidak secara tegas pada hari sabtu (21
September 2019) untuk memecat dan mengadili Ibu Guru bersangkutan. Dan pada
saat ini mereka menginginkan agar kepala sekolah memecat dan menghadirkan guru
tersebut dihadapan siswa untuk mengakui perbuatannya. Sementara negosiasi
berlangsung pihak sekolah menelpon aparat keamanan datang. Pihak sekolah tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan proses hukum kepada Ibu Riris.
Kehadiran
aparat keamanan Polres Jayawijaya di SMU PGRI guna memediasi pihak guru dan
siswa. Sementara mediasi situasi semakin ramai dan tegang. Sekolah – sekolah
dan siswa lain sudah mulai memobilisasi. Pihak Kepolisian mengarahkan seluruh
siswa SMU PGRI untuk bersama melakukan perjalananan ke Polres menyelesaikan
masalah dengan Ibu Guru Riris.
Kekerasan
Rasisme Siswa Bergerak
Perjalanan
siswa SMU PGRI menuju Polres Jayawijaya menuntut penyelesaian ucapan rasis guna
proses hukum. Pihak kepolisian bertugas menyelidiki dan mengungkap isu rasisme
yang terjadi di Wamena. Siswa meminta agar pihak aparat keamanan tidak lagi
meninggalkan masalah dan menutupi kasus ini. Tidak ingin peristiwa sama saat
isu rasisme di Malang dan Surabaya yang terkesan ditutup-tutupi. Mereka
bersuara meminta penjelasan terhadap siapa dibelakang Ibu Riris. Memposisikan
seorang guru yang baru 5 hari mengajar dan terdengar ucapan rasis. Para siswa
bukan ingin merdeka tetapi damai dan adil dari pengalaman yang mereka alami.
Mereka ingin berjuang secara damai dan tanpa kekerasan tidak ingin mengorbankan
orang lain.
Gerakan
siswa berjalan kaki ke Polres dan mulai memobilisasi sekolah- sekolah di
Wamena. Ketika di jalan Bhayangkara para siswa mulai membangun gerakan ke sekolah
SMU dan SMP lain di Wamena. Mereka mulai mengumpulkan sekutu dan menyurakan
rasisme di sudut –sudut Kota Wamena.“Pada
saat kejadian saya dan teman – teman sekolah baru selesai upacara. Kami masuk
kelas dan guru wali kelas mulai absend. Selesai itu, ada 2 teman dari SMU PGRI
datang. Mereka berdiri di depan pagar sekolah dan mengatakan yang merasa
monyet keluar. Mendengar pernyataan itu kami semua berjalan keluar dan
meninggalkan sekolah serta mengikuti
aksi”.[6]
Kelompok
massa aksi siswa membentuk dua komando. Adapun siswa yang melakukan perjalanan
menuju Polres Jayawijaya. Dan adapula yang melakukan long mars menuju ke Kantor
Bupati untuk meminta agar bupati dan wakil bupati mendengar aspirasi dan
tuntutan siswa karena kata – kara rasisme. Sejumlah guru dan siswa yang
bergerak ke Polres, diarahkan untuk memasuki ruang penyelidikan. Nampak sosok
Ibu Guru Riris sudah ada dalam ruangan untuk diamankan. “ Pihak keamanan melihat situasi sudah memanas, memasuki ruangan
penyidik dan meminta pihak guru untuk melihat jalan terbaiknya seperti apa,
karena mereka juga sudah binggung. Kemudian mereka keluar dan mengatakan bahwa
yang terpenting adalah mengamankan warga dipinggiran kota “.[7] Ibu Riris ditahan di Polres Jayawijaya,
pada saat tim melakukan pemantauan dan mewawancarai pihak Polres mendapatkan
informasi bahwa ibu guru hanya saksi kunci. Tidak ada di Polres namun aman di
tempat lain.
Antusias
siswa terus diperlihatkan dengan berjalan menuju kantor Bupati walaupun
mendapat tekanan dari aparat keamanan (TNI/Polri). Melihat gerakan siswa yang
kencar dan tambah semangat pihak aparat mulai panik. Untuk meredam situasi
tersebut, pihak aparat mengeluarkan tembakan dengan tujuan semua bisa tenang.
Konsolidasi seluruh sekolah – sekolah di Wamena sudah menyeluruh dan merata.
Akibat dari banyaknya massa aksi siswa membuat pihak aparat kewalahan. Tembakan
sudah di mana – mana. Namun para siswa lebih agresif untuk maju dan mulai berhamburan kuasasi setiap mata
jalan di Kota Wamena.
Orang
asli Papua dan orang non Papua mulai panik. Bunyi tembakan berentetan didengar
dari SMU Negeri, Depan Kantor Bupati, Depan Kantor II Uniyap Wamena dan Pasar
Potikelek. Sebagian dari siswa yang targabung di dalam massa aksi terblokade
oleh aparat di daerah Hom – hom. Salah
satu siswa di Hom – hom mulai melakukan pelemparan ke arah aparat keamanan
(Polisi dan Brimob). Pihak aparat langsung melakukan penembakan kepada siswa
tersebut, terkena tembakan di perut kiri atas. Tembakan dititik berdekatan
dengan jantung, siswa tersebut jatuh seketika. Melihat represif dan intimidasi
aparat keamanan (Brimob) kepada salah satu teman siswa tidak memadamkan gerakan
para kaum muda. Justru mereka sangat terpancing dan melakukan penyebaran.
“ Kita jalan ke Hom – hom dan menuju Toko
Yuda di dekat pom bensin dan disitu kita di hadang oleh Polisi dan Brimob.
Mereka mulai menghadang dengan mengeluarkan tembakan. Ada salah satu teman
terkena tembakan di kaki. Kami melihat penembakan aparat seperti itu kami jadi
marah. Kurang lebih ada 5 korban teman pada saat itu“. [8]
Penembakan oleh aparat
keamanan (Brimob) kepada massa aksi siswa di Wamena.[9]
Peristiwa
ricuh dan anarkis massa aksi siswa berawal di Hom – hom. Jatuhnya korban siswa
dan juga salah satu tukang becak orang asli Papua membuat amarah mereka tidak
terbendung. Korban siswa yang tertembak di perut oleh aparat Brimob digiring
berarak-arakan menuju kantor Bupati. Sedangkan korban abang becak, mayatnya
diletakan di jalan raya Hom-hom tepatnya di jalan masuk kampus. Adapun korban
siswa lain yang terkena tembakan aparat keamanan (Brimob). Beberapa siswa
tertembak diamankan oleh aparat keamanan ke rumah sakit dan sebagian ditolong
sesama teman yang mengikuti aksi.
Dari
kejadian di Hom – hom informasi penembakan oleh aparat keamanan terdengar
sangat cepat, baik kepada massa aksi dan masyarakat secara luas. Mendengar
informasi tersebut pembakaran serentak terjadi. Asap hitam dengan waktu
bersamaan menutupi langit putih di Kota Wamena. Informasi tersebut beredar dari
komunikasi via seluler dan jaringan internet. Saat itu juga jaringan di Kota
Wamena dimatikan, namun terlambat karena informasi sudah berkembang di
masyarakat setempat dan beredar hingga keluar.
Pembakaran di Kota
Wamena. Terlihat langit berwarna putih berubah menjadi hitam.[10]
Massa
bukan lagi siswa, tetapi mahasiswa dan masyarakat luas gabungan. Mereka mulai
membakar kendaraan, rumah, kios/ruko dan bahkan melakukan pembunuhan kepada
orang non Papua. Sebagian massa rakyat adalah orang tua dari para siswa yang
melangsungkan aksi menuntut palanggaran hak asasi manusia terkait isu rasisme.
Para orang tua mendengar bahwa anak – anak mereka yang sekolah ada ikut aksi
demonstrasi dan semua ada turun di jalan. Mereka tidak mendapatkan informasi anak – anak mereka
selamat atau tidak.
Mendengar
berita seperti itu sehingga massa rakyat mulai berkumpul di mata – mata jalan
di setiap tempat di Wamena. Adapun informasi yang mereka dapatkan bahwa anak –
anak mereka terkena tembakan dari aparat keamanan. Situasi ini bisa dengan
mudah untuk mempolitisir keadaan dengan terkumpulnya massa. Sangat rawan dengan
pimpinan massa pada saat itu tidak jelas dan tanpa komando. Dengan gerakan saat
itu menjadikan amukkan massa yang tidak terkontrol. Ini terjadi tanpa komando,
akibatnya tidak ada yang bisa diminta pertanggungjawaban atas peristiwa ini.
[11]Foto ruko –
ruko dan fasilitas kendaraan yang terbakar pasca kejadian di Wamena.
Beberapa
lokasi dan titik pembakaran pada tanggal 23 September 2019 seperti ;
Kantor
Bupati jayawijaya, pasar Wouma, ruko – ruko di jalan Pikhe, STISIP Amal Ilmiah
Yapis Wamena, Yudha Supermarket, pasar tradisional Potikelek, Kantor PLN Rayon
Wamena, Kantor depan Kejaksaan, kantor urusan agama (KUA), Kantor unit BRI
Wouma, Dina Teknik dan Mulia Jaya toko bangunan di jalan Hom – hom.
Kantor PLN Rayon Wamena
dan Yapis Wamena yang hancur terbakar.[12]
Aspirasi
Siswa di Kantor Bupati
Para
siswa yang mempunyai rute ke kantor Bupati, diarahkan masuk oleh Bupati
Jayawijaya ke halaman kantor untuk menyampaikan aspirasi. Siswa di Kantor
Bupati tertib di halaman. Mereka hendak menyampaikan aspirasi tentang rasisme
kepada Bupati bahwa sosok Ibu Guru Riris harus di hukum. Para siswa pada saat
itu meminta aparat keamanan untuk tidak masuk ke dalam halaman kantor Bupati.
Namun permintaan itu tidak diindahkan oleh aparat. Melihat hal itu siswa mulai
melakukan pelemparan untuk memukul mundur aparat keluar dari pagar kantor
bupati.
Dikarenakan
aparat keamanan masuk sehingga siswa mengambil alih dan mulai bergerak
melakukan kekacauan. Sebagian dari mereka menetap di dalam kantor Bupati dan
sebagian ada yang keluar menuju pertigaan jalan kantor bupati untuk bikin
ribut. Setelah melihat gerakan dan amukan massa aksi siswa, lagi – lagi aparat
keamanan (Brimob) mulai lakukan penembakan.
“ Kami mau bicara dengan orang tua kami
Bupati dan wakil Bupati. Kami berdiri membentuk pagar lingkaran dan berdirikan
Bapa Bupati dan Wakil Bupati di tengah kami. Saat mau menyampaikan kata –kata
rasis oleh sosok guru di SMU PGRI, aparat keamanan masuk melalui pintu belakang
dekat kantor keuangan. Disitu kita ambil batu dan ribut kembali. Kita
mengamankan diri dan lari ke arah lapangan pendidikan Wamena. Setelah cukup
lama kembali ke arah kantor bupati. Kami ambil bensin dari tengki motor dan
menuju ke kantor keuangan dan bakar”.[13]
Gerakan
anak – anak sekolah di halaman kantor Bupati ingin menyampaikan kebenaran. Pada
saat itu hadir saksi kunci Anton
Pahabol sebagai anak yang menjadi korban ucapan rasis. Anton ingin memberikan
keterangan kepada Bupati dan Wakil Bupati. Ketika memegang mick (alat bantu
suara) untuk berbicara, anggota gabungan masuk dengan menggunakan 2 dalmas dan
2 mobil strada ke halaman kantor Bupati. Massa aksi siswa melalui Anton Pahabol
tidak sempat menyampaikan aspirasi dan kebenaran karena ucapannya langsung
terpotong. Gerakan yang dibangun ditujukan kepada pihak keamanan. Perlawanan di
kantor bupati menjadikan kantor pemerintahan ini terbakar habis. Bermula dari
kantor keuangan dan juga bangunan yang tersebar di halaman Kantor Bupati.
Kantor Bupati yang
terbakar pasca peristiwa di Wamena.[14]
Berdasarkan
informasi yang di dapatkan peneliti, untuk meredam gerakan dari para siswa
awalnya aparat mengeluarkan tembakan dengan menggunakan gas air mata. Semua
massa aksi anak – anak sekolah ini masuk menyelamatkan diri ke halaman kantor
Bupati. Mereka lari kearah kolam di dalam kantor untuk rendam atau cuci mata.
Penembakan gas air mata menambah emosional/kemarahan dari para siswa. Siswa
melakukan pelemparan dan menghancurkan bangunan kantor Bupati.
“Aparat sudah
tidak tembak pakai gas air mata lagi tapi sudah menggunakan peluru karet
mengarahkan ke kita massa aksi. Tapi tembakan itu tidak ada yang kena. Setelah
itu aksi semakin panas dan aparat keamanan (brimob) sudah kewalahan sehingga
mereka mangambil tindakan menggunakan peluru tajam tempat ke arah atas.
Tembakan itu terkena atap dari kantor bupati dan lubang-lubang”.
Ada
sejumlah anak – anak yang ditahan dalam halaman kantor Bupati. Massa aksi siswa
meminta teman – teman mereka dibebaskan, dengan ancaman akan tidur di kantor bupati sampai pagi. Bupati
perintahkan bebaskan para siswa karena anak – anak itu tidak bersalah. Di dalam
rombongan siswa yang ditangkap juga ada Anton Pahabol. Sehingga keberadaan
Anton hingga sekarang belum diketahui.
Kejadian
sudah mulai meredah dan cukup tenang. Bupati mengarahkan siswa untuk pulang
oleh aparat keamanan melewati Wouma, karena mata jalan masuk keluar sudah tutup
oleh aparat dan massa. Selain itu para siswa juga dihadang oleh ormas warga
nusantara di jalan Irian dan pertigaan hotel Baliem Pilamo. Barisan ormas
bergerak keluar dan mengangkat alat dan senjata tajam. Kemudian bangun
perlawanan dengan anak – anak SMA yang sementara pulang.
Ormas Barisan Nusantara
Perlawanan
dari masyarakat sipil non Papua yang menamai diri barisan nusantara terlibat
dalam kerusuhan di Wamena. Ormas massa aksi barisan nusantara lahir dari isu
perekonomian. Sebagian dari mereka merupakan pengusaha yang memiliki ruko –
ruko dan jualan di daerah Kota Wamena. Pasca peristiwa di Wamena masyarakat non
Papua mendapat tekanan dari massa rakyat yang ikut terlibat dan melakukan
ricuh. Adapun dari mereka menjadi korban
penyanderaan dan pembakaran ruko tampat usaha. Alasan penyanderaan massa
rakyat agar anak – anak mereka
dibebaskan dari kantor Bupati. Pembakaran ruko – ruko juga terjadi karena
mendegar anak mereka yang terkena tembakan dan kekerasan aparat keamanan.
Berdasarkan tindakan yang dialami oleh masyarakat non Papua, emosional dan
ketidakpuasan muncul sehingga terbentuk ormas barisan nusantara.
Ruko – ruko tempat usaha
masyarakat Non Papua yang hangus terbakar. Daerah Wouma[15]
Tidak
bisa disangkal, bahasanya kelompok ini juga melakukan kekerasan dengan alat
yang melumpuhkan massa aksi siswa pada saat itu. Terbekali dengan alat seperti
pisau, parang, kampak, samurai dan masih banyak lagi dengan dalih menjaga
keamanan diri. Namun, tindakan itu justru membuat gerakan siswa tambah
terpancing dan kesannya provokatif.
Pada
peristiwa tanggal 23 September 2019 di Wamena, nampak banyak anggota berpakaian
preman dan ormas di jalan Kota Wamena. Ormas barisan nusantara berjalan
membentuk kelompok disetiap tempat seperti Jalan Irian, jalan Trikora dan
beberapa titik tempat usaha. Terkesan ada perlindungan dari aparat keamanan
terhadap kelompok ormas. Ketika ricuh, massa aksi barisan nusantara berjalan
dengan kelompok dan dibekalang mereka aparat berpakaian preman.
“Ketika melewati tempat didepan mereka
saya mendengat suara yang mengatakan bahwa kasih keluar kalian punya alat.
Dalam pikiran saya pada saat itu parang atau panah. Namun mereka keluar dengan
menggunakan senjata. Mereka keluar melewati lorong di jalan Irian dekat pos
Polisi. Waktu itu banyak orang, aparat dan ormas gabung jadi satu”.[16]
Ada
penyerangan dari massa aksi ormas terhadap para siswa yang melakukan aksi
menuntut ucapan rasisme. Massa aksi siswa yang hendak pulang kembali ke rumah
masing – masing dihadang ormas yang berdatangan. Siswa diserang dan terpancing
emosi, akibatnya ada saling baku lempar antara massa aksi barisan nusantara dan
massa aksi siswa.
“Saat itu aparat
keamanan datang dan mengamankan tempat tetapi ada seorang teman yang terkena
tembakan dibagian paha atas. Ada seorang masyarakat Papua pada saat itu yang
membantu kami untuk pergi menghindar dari amukan ormas dan aparat. Ormas
beralatkan parang, pisau, kampak, samurai. Setelah cukup lama akhirnya situasi
meredah dan kami kembali ke rumah masing-masing”.[17]
Dikelompok
massa aksi ormas, nampak di belakang mereka ada aparat keamanan berdiri memegang
senjata. Adapun yang berpakaian dinas dan tidak berpakaian dinas. Mereka
tergabung didalam barisan ormas. Namun beberapa aparat berpakaian preman yang
bersenjata dan gabung dalam barisan nusantara melakukan penembakan terhadap
sejumlah siswa yang hendak pulang.
Tindakan
represif dan intimidasi diperlihatkan pihak aparat keamanan. Pengamanan aparat
menjadi penegah antara massa aksi barisan nusantara dan massa aksi siswa tidak
seimbang. Yang seharusnya pihak aparat bisa meredam situasi dan menciptakan
kondisi kondusif, justru ada keberpihakan kepada massa aksi barisan nusantara
atau ormas.
Pasca Kejadian di Wamena dan Dampaknya
Peristiwa
duka sejuta umat yang terjadi di Wamena menjadi situasi sulit disembuhkan.
Situasi ini menyangkut soal ideologi sehingga tidak pernah akan selesai dan
akan berlanjut entah itu kapan. Harus ada peran menyentuh hati masyarakat yang
terkena dampak dari kejadian di Wamena. Luka dan trauma akan terus terbungkus
dan suatu waktu akan pecah dengan menunggu momentum. Peran dan pendekatan dari
pemerintah, aparat keamanan, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama
sangat penting dalam menyikapinya.
Kota
Wamena sendiri banyak dipenuhi oleh orang – orang dari luar. Orang asli Lembah
dapat dilihat di Kampung – kampung. Selanjutnya masyarakat yang tinggal di Kota
membutuhkan finansial atau uang. Mulai ada kepentingan dari orang yang
mempunyai uang banyak dan tentunya strategi. Perekonomian yang berputar di Kota
tidak menjamin keamanan Lembah Baliem. Justru masyarakat yang membutuhkan uang
pada saat itu dipakai agar kejadian di Kota Wamena bisa terjadi. Intelegen akan
melihat kantong – kantong kosong dan persisnya mereka bisa dimanfaatkan. Untuk
massa aksi siswa murni ucapan rasis memancing emosi mereka. Bahasa yang
memancing emosi dari siswa “ Kalau memang
merasa monyet keluar”.
Apa
yang terjadi pada 23 September 2019 kemarin adalah hal yang terjadi sangat luar
biasa. Seolah –olah sudah tersistematis dan ada yang atur. Dengan dana yang
besar dan orang yang pintar. Ada sebuah kepentingan dan ingin menjadikan Wamena
lautan api. Kejadian kemarin tidak ada kaitannya dengan orang – orang adat
Baliem untuk duduk membicarakan aksi. Sejauh ini masyarakat asli menginginkan
kehidupan damai. Namun tidak bisa menutupi bahwa memang ada dampak pasca
kejadian di Wamena.
Informasi
yang didapatkan peneliti di lapangan ada dampak kerusuhan di Wamena seperti :
Korban jiwa, korban luka – luka, pembakaran ( ruko, kendaran dan rumah warga),
serta jumlah ribuan pengungsi. Data yang berhasil dikumpulkan seperti ; 400
unit ruko dan 183 unit rumah warga yang terbakar, data korban jiwa kerusuhan di
Wamena ( 8 orang Papua dan 25 orang non Papua), data korban luka – luka ( 45
orang Papua dan 39 orang non Papua).[18]
Untuk pengungsi pasca rusuh di kota Wamena berjumlah 8.200 orang. Sejumlah
tempat yang di jadikan posko pengungsi di Wamena seperti Polres Wamena, Kodim
Wamena, dan Bandara Wamena.
Bekas kejadian di Wamena, bangunan
dan kendaraan yang terbakar.[19]
Namun
korban jiwa kerusuhan di Wamena belum bisa terdata sepenuhnya baik. Beberapa
tempat di Wouma, Pikhe dan Hom –hom terlihat sempanjang jalan deretan bangunan
sudah terbakar habis. Hingga tanggal 18 Oktober 2019, hari terakhir tim di
lapangan masih ada korban yang belum terevakuasi. Bangunan di daerah Wouma
contohnya, masih sangat tercium bau busuk dan bangkai manusia di dalam ruko
yang terbakar. Termasuk di daerah Hom – hom, ketika menaiki kendaraan melintasi
jalan itu angin bertiup dan akan cepat hidung menghirup bau kurang sedap.
Masyarakat setempat meyakini bahwa memang benar masih ada tubuh manusia di
dalam rumah maupun ruko – roko yang saat
itu dibakar hidup – hidup.
Berdasarkan
pemantauan di lapangan, kondisi keamanan di Wamena masih tetap siaga satu.
Aparat keamanan melangsungkan operasi gabungan di beberapa titik jalur keluar
masuk rawan konflik. Adapun operasi gabungan seperti berjalan kaki, menggunakan
kendaraan beroda 2 dan 4 untuk beroperasi keliling Kota Wamena. Untuk di pos –
pos aparat keamanan masih tetap bersiaga untuk menjaga keamanan. Penambahan
aparat keamanan pasca kejadian terus bertambah.[20]
Kondisi
persekolahan di Kota Wamena sama sekali membawa tekanan psikis dari pihak guru
dan siswa. Ketakutan para guru akan terjadi kejadian serupa sehingga menerima
untuk menempatkan aparat keamanan di sekolah –sekolah di Wamena. Namun berbeda
bagi para siswa. Ketakutan dan tekanan psikis secara langsung dengan kehadiran
aparat keamanan sangat tidak memberikan kenyamanan. Bahasanya mereka takut jika
masuk kembali ke sekolah, akan ada penangkapan dan penyelidikan lanjutan dari
pihak aparat keamanan. Beberapa sekolah di Wamena sudah mulai berjalan tetapi
proses belajar mengajar tidak terlalu aktif. Banyak siswa dan guru yang tidak
masuk sekolah. Keadaan dimana aparat keamanan menempati sekolah – sekolah
sangat menganggu alam bawah sadar dari para siswa di Wamena.
“Anak sekolah yang masuk juga tidak
seberapa dengan jumlah siswa di sekolah tersebut. Mereka takut dengan pihak
keamanan ditempatkan di sekolah – sekolah. Ada beban psikis dari anak – anak
itu sendiri. Pikiran mereka jika ke sekolah akan di tangkap. Untuk anak SMA ada
ketakutan dan beban psikis masuk sekolah karena kebanyakan dari mereka ikut
terlibat dalam kejadian tanggal 23 September kemarin”.[21]
Aktivitas
masyarakat sudah mulai lancar seperti biasa. Tetapi di pasar – pasar tidak
terlalu ramai. Banyak mama – mama Papua yang trauma untuk berjualan di pasar.
Masyarakat asli sendiri masih banyak yang mengungsi di kampung – kampung.
Menurut mereka akan lebih terjaga jika bertahan di kampung dan ketika aparat
keamanan sudah mulai berkurang barulah mereka kembali ke Kota.
Kronologis
Peristiwa awal, 23 September 2019
Nama
Sekolah : SMU PGRI
Wamena
Alamat : Jln. Bhayangkara 132 Wamena
Hari
Kejadian : Rabu, 18 September 2019
Jam : 10.00
WIT
Nama
Ibu Guru : Riris T.
Panggabean, S.Pd.
Status : Guru Honor
Nama
Siswa : Anton
Pahabol
Kelas : XI IPS
2
Jumlah
Siswa : 31
Mata
Pelajaran : Ekonomi
Nama
Kepala Sekolah : Drs. Herry Max
Kasiha
Ibu
Guru Riris T. Panggabean S.Pd, status sebagai guru honorer – mengisi sementara
waktu – menggantikan, Ibu Guru Elfrida Panjaitan, S.Pd yang sedang mengikuti
sertifikasi di Makassar untuk bidang study Ekonomi. Pengangkatan guru honorer
Ibu Riris yang lakukan oleh guru bagian kurikulum yaitu pa Marden Saragih,
S.Pd. Pengenalan Ibu Riris sebagai guru honorer SMU PGRI Wamena dilakukan pada
hari Selasa, 17 September 2019 dihadapan guru-guru. Setelah pengenalan ibu
Riris langsung masuk mengajar di kelas dengan bidang study Ekonomi. Ibu Riris
sebagai guru baru, mengajar dari tanggal 17-21 September 2019. Mengajar selama
5 hari sampai hari kejadian tanggal 23 September 2019.
Kronologis
Pada hari Rabu, tanggal 18 September
2019, jam kedua mata pelajaran ( sekitar
jam 10.00 WP) di Kelas XI IPS 2, sedang berlangsung kegiatan belajar
mengajar terhadap 31 siswa dengan mata pelajaran ekonomi yang diajar oleh
seorang Ibu Guru Riris T. Panggabean, S.Pd. Ibu guru sedang mengajar di kelas
XI IPS 2 , dengan menulis beberapa paragraf di papan tulis lalu salah satu
siswa namanya Anton Pahabol disuruh membaca tulisannya. Siswa tersebut
membacanya agak lambat atau putus-putus. kemudian ibu guru menegur siswa dengan
kata “Kamu baca seperti monyet” . Ucapan ini didengar oleh seluruh siswa yang
ada dalam kelas XI IPS 2 . Secara spontan siswa (Anton) tersebut protes kepada
ibu guru, mengapa saya dikatakan baca
seperti monyet. Protes ini disambut oleh
siswa se-kelasnya. Situasi semakin ramai, tidak bisa terkendali dan memanas
untuk melanjutkan pelajaran,
Pada hari minggu, 21 September 2019,
Situasi yang tidak terkendali dan memanas terus diperlihatkan siswa SMU PGRI sehingga
perkara dilimpahkan bagian kesiswaan di sekolah. Dengan tujuan untuk memediasi
sekaligus klarifikasi secara tenang dan damai apa yang terjadi dalam Kelas XI
IPS 2. Masalah langsung ditangani bagian kesiswaan oleh Ibu Guru Debora Agapa,
S.Pd. Saat dimediasi, pertama ditanyakan kepada Ibu Guru Riris yang diduga
mengeluarkan kata-kata rasis, dan Ibu Guru menjelaskan saya tidak katakan
kepada siswa, “kamu baca seperti Monyet”, tapi saya sampaikan” kamu baca
tersendat-sendat”.
Untuk memastikan kebenaran, Ibu Debora
menyanyakan kepada para siswa dari kelas XI IPS 2, mereka serentak menjawab
bahwa Ibu Guru sampaikan, “kamu baca
seperti monyet” kami semua mendengarnya.
Ibu Debora mendengar tapi tidak puas, Ibu Debora memanggil 2 siswa
pendatang, masuk dalam ruangan khusus lalu bertanya kepada mereka, apa yang
kamu dengar kata-kata yang diucapkan Ibu Guru Riris, ke 2 siswa pendatang saling memandang dan
ragu-ragu, lalu menunduk dengan sikap panik tidak menjawab. Sehingga Ibu Debora
menganggap hal sepeleh dan perkara hanya di dalam sekolah saja, lalu secara
inisiatif lalukan minta maaf antara guru dan siswa sekalipun masalah tidak
tuntas karena saling bertahan pendapat anatar Ibu Guru Riris dan para siswa.
Selanjutkan aktivitas belajar mengajar
tidak bisa dilajutkan, karena dalam sekolah, seluruh siswa mulai memobilisasi.
Sehingga pihak sekolah mengambil kebijakan untuk memulangkan seluruh siswa
sebelum jam pulang.
Pada malam hari, sekitar jam 02.00 WIT,
orang tak dikenal masuk di dalam lingkungan sekolah SMU PGRI Wamena, kemudian
kaca-kaca ruangan dihancurkan. Jumlah ruangan ada 17, baik ruang kelas, ruang
guru, ruang tata usaha dan ruang perpustakaan semua kaca-kaca retak. Pelaku
belum diketahui. Kejadian ini didengar oleh tetangga sekolah, jikalau sekitar
jam 02.00 WIT terjadi
kerusakan di SMU PGRI.
Pada hari Senin tanggal 23 September
2019, seluruh SMU di Wamena dilaksanakan ujian tengah semester (UTS). SMU PGRI ikut UTS, sehingga para guru sudah
siapkan soal ujian datang ke sekolah sesuai jam sekolah untuk memberikan ujian
kepada siswa, namun pagi hari, sebelum jam 07.30 WIT pagar sekolah dipalang dan
guru-guru disandera, dengan tujuan untuk tuntaskan atau selesaikan masalah
rasisme yang diucapkan oleh Ibu Guru Ririrs kepada siswa Antor Pahabol, karena
para hari sabtu belum tuntas. Para siswa menuntut Ibu Guru Riris dikeluarkan
dari sekolah dan diproses hukum. Pihak sekolah mengatakan, kami tidak punya
kewenangan, yang berwenang pihak kepolisian. Sementara mediasi dengan siswa,
situasi semakin ramai dan tegang, karena ada dari siswa sekolah lain sudah
mulai mobilisasi. Maka pihak sekolah minta bantuan ke pihak kepolisian Polres
Jayawijaya. Pihak kepolisian datang di
SMU PGRI, untuk memediasi guru dan sisiwa, namun tidak bisa, dan tambah tegang,
sehingga pihak kepolisian mengarahkan para siswa ramai-ramai jalan kaki ke
polres untuk masalah dengan Ibu Guru Riris.
Sampai dijalan Bhayangkara untuk menuju
ke Polres, para siswa mulai mobilisasi ke sekolah-sekolah SMU dan SMP lain di
Wamena. Pihak aparat mulai panik, namun tetap dalam pengawalan. Siswa yang ikut
jalan Bhayangkara, tepat di perempatan Jalan Bhayangkara dan Jalan Sudirman,
situasi tidak bisa terkontrol, siswa mulai
kocar-kacir. Untuk meredam situasi tersebut, pihak aparat keluarkan
tembakan dengan tujuan semua bisa tenang. Namun para siswa, kencar dan tambah
semangat, dengan spontan mengucapkan, itu bukan bunyi senjata tapi itu bunyi
petasan. Tembakan peringatan ini sekitar jam 08.30 WIT. Sekitar jam 09.00 WIT,
konsolidasi seluruh SMU di Wamena, sudah menyeluruh dan merata. Tembakan sudah
dimana-mana, namun para siswa lebih agresif maju dan mulai berhamburan kuasai
mata Jalan semua.
Orang Asli Papua dan Orang Pendatang
mulai panik, bunyi tembakan berentetan didengar dari SMU Negeri, Depan Kantor Bupati, Depan Kampus
II Uniyap Wamena dan Pasar Polikelek. Para siswa sebagian, diarahkan oleh
Bupati Jayawijaya ke halaman kantor Bupati untuk menyampaikan aspirasinya. Dan
sebagian palang jalan di jalan hom-hom tepat di depan Kampus II Uniyap. Karena
disana sudah ada korban abang becak, mayatnya diletakan di jalan raya hom-hom
tepatnya jalan masuk kampus. Masa bukan lagi siswa, tapi mahasiswa dan
masyarakat luas gabungan mulai bakar kendaraan, rumah, kios/ruko dan bahkan
lakukan pembunuhan. Dari hom-hom ke pertigaan pasar Jibama, yang lain lewat
jalan Papua tembus jalan wenas sampai dikantor kampung kama.
Siswa dikantor Bupati, semua tertib
duduk di halaman, sampaikan aspirasinya tentang rasisme disampaikan kepada
Bupati bahwa Ibu Guru Riris di Hukum. Pak Bupati sambil mendengarkan aspirasi
sekitar jam 11.00 WIT. Setelah mendengar, Bupati arahkan siswa antar pulang
oleh aparat lewat Wouma semua, karena mata jalan masuk keluar sudah tutup oleh
aparat dan masa. Dalam kepanikan sebagian siswa sudah sampai di depan Gereja
Katolik Kristus Jaya Wamena, yang lain masih di Kantor Bupati. Depan Gereja
Katolik, aparat Brimob tahan mereka disuruh tiarap, dengan melakukan tembakan
peringatan. Dikantor Bupati, Bupati, Wakil Bupati dan Dandim sementara berdiri
dihalaman kantor Bupati, asap besar mulai mengepul di bagian belakang kantor
Keuangan, dan dalam hitungan menit seluruh bangunan kampleks kantor Bupati
semua terbakar. Siswa yang sementara tiarap oleh aparat, masa dari arah Wouma
melihat anak-anak mereka diperlakukan demikian, masa di Wouma mulai bakar kios
di sebelah Jembatam Wouma sampai masuk
di Pasar rata dengan nyawapun melayang oleh timah panas dan pisau/parang.
Dalam situasi ini juga, pihak aparat dan
penguasa memproduksi hoaks, ucapan Monyet
di rubah menjadi tersendat-sendat
dan terakhir Kamu Bicara Kurang Keras.
Seluruh situasi tidak bisa di kendalikan sampai korban dimana-mana.
Penutup
Kesimpulan
Dari hasil temuan terhadap pembatasan
bersuara dan kekerasan rasisme di Wamena diharapkan menjadi informasi dan
masukan kepada semua pihak. Khususnya pemerintah dan aparat keamanan dalam
mengantisipasi dan menindaklanjuti pelanggaran hak kepada masyarakat asli Di
Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Terkait ucapan rasis oleh sosok tenaga pengajar
(guru) dan kebebasan bersuara bagi gerakan pemuda di Wamena. Keadaan tersebut
untuk menciptakan pemenuhan hak, terhadap kebebasan berekspresi serta
keberagaman suku dan ras di tengah masyarakat.
Pengamatan dan penemuan melihat ketiadaan
hak dirasakan bagi masyarakat asli di Wamena, kaum pemuda khususnya. Yakni
gerakan siswa sekolah dilibatkan dalam represif dan intimidasi yang dilakukan
langsung oleh aparat keamanan. Selanjutnya aparat keamanan juga menggunakan
alat negara (senjata)untuk melumpuhkan gerakan pemuda yang mau menyuarakan
kebenaran atas rasisme. Adapula gerakan ormas yang sengaja dilindungi aparat
keamanan guna meredam isu rasisme menjadi isu anarkisme. Perselisihan sempat
terjadi antara siswa dan barisan ormas. Yang dimaksud disini adalah kewajiban
aparat keamanan dalam melindungi, menghormati dan memenuhi harus diperlihatkan
sebagai suatu Negara. Sebelum dan pasca kerusuhan di Wamena masyarakat sudah
hidup saling berdampingan dalam damai. Tanpa perlu ada penambahan pasukan dan
basis militer.
[2] Wawancara
dengan Guru SMU PGRI Wamena. Guru Penjaskes sekaligus Humas SMU PGRI. Michael
Alua S.Pd. Pada tanggal 14 Oktober 2019
[3] Ibid,
hal 2, Wawancara dengan Guru SMU PGRI Wamena. Guru Penjaskes sekaligus Humas
SMU PGRI. Michael Alua S.Pd. Pada tanggal 14 Oktober 2019
[5] Ibid,
hal 2, Wawancara dengan Guru SMU PGRI Wamena. Guru Penjaskes sekaligus Humas SMU
PGRI. Michael Alua S.Pd. Pada tanggal 14 Oktober 2019
[6] Wawancara dengan Siswa mengikuti aksi, 23 September 2019, Gardus Walilo
Sekolah di SMK Yso Ninabua Wamena, pada tanggal 18 Oktober 2019
[7] Ibid,
hal 2, Wawancara dengan Guru SMU PGRI Wamena. Guru Penjaskes sekaligus Humas
SMU PGRI. Michael Alua S.Pd. Pada tanggal 14 Oktober 2019
[8] Ibid,
hal 5. Wawancara dengan Siswa mengikuti aksi, 23 September 2019, Gardus Walilo
Sekolah di SMK Yso Ninabua Wamena, pada tanggal 18 Oktober 2019
[13] Wawancara
dengan Siswa mengikuti aksi, 23 September 2019, Natalis Walilo Sekolah di SMK
Yso Ninabua Wamena, pada tanggal 18 Oktober 2019
[16] Ibid.
Hal 8. Wawancara dengan Siswa mengikuti aksi, 23 September 2019, Natalis Walilo
Sekolah di SMK Yso Ninabua Wamena,
pada tanggal 18 Oktober 2019
[17] Ibid,
hal 5. Wawancara dengan Siswa mengikuti aksi, 23 September 2019, Gardus Walilo
Sekolah di SMK Yso Ninabua Wamena, pada
tanggal 18 Oktober 2019
[18] Data di lapangan yang
didapatkan SKPKC Fransiskan Papua langsung dari, KODIM 1702/Jayawiyaya, pada tanggal 16
Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar