Perebutan Ruang Publik oleh agama-agama di Papua

Oleh : Stilman Renggi
Aktivis Gerakan HAM Papua

Peran agama di tengah masyarakat dan di ruang publik Papua cukup menentukan. Karena Religi asli Papua sudah menjadi bagian adat. Agama mengantikan atau menyempurnakan agama asli tetap mendapatkan peran di ruang publik. Selain agama Asli, Islam sudah ada sejak dakwah dari Kerajaan Ternate Tidore ke Wilayah Barat Papua. 

Kemudian tahun 1855 kekristenan masuk di Wilayah Utara, Timur dan Selatan melalui gelombang dari pelbagai aliran kekristenan. Kelompok Islam setelah penyebaran melalui kerajaan Ternate, hadir di Wilayah Papua lainnya melalui program Trikora tahun 1963. Hadir melalui guru dari Jawa, dan sesudahnya melalui pedagang dari Sulawesi. Kelompok ini umumnya berasal dari aliran utama NU dan Muhammadiyah yang cepat membaur dengan masyarakat Papua.

Gelombang berikutnya muncul sekitar tahun 1998 pada awal Reformasi. Ketika itu kelompok Islam radikal yang bergerak ke bawah tanah tampil ke permukaan dan menyebar ke Papua. Dalam kelompok ini terhitung Dakwah Islamiah, Hizbullah, kemudian HTI dan Laskar Jihad, atau aliran NU yang dipengaruhi kelompok ini.

Kerja sama antara agama baru dimulai ketika isu atau peristiwa nasional harus ditanggap bersama, seperti kasus Sitobondo dan peristiwa Ambon dan Poso, dan kemudian kasus Ahok, atau juga karena adanya konflik lokal, seperti kasus Tolikara dan Manokwari Kota Injil, dan kemudian kasus Jafar Umar Talib dan pembubaran HTI.

Pada tahun terakhir masalah relasi antara umat beragama berkembang dalam kerangka mayoritas-minoritas, dan isu tentang marginalisasi agama tertentu dalam perebutan ruang dan akses publik semakin sering muncul dalam diskusi para pemimpin agama. Dari kalangan tokoh agama kehadiran gerakan fundamentalisme radikal Islam menimbulkan kebangkitan sentiman agama di setiap bidang kehidupan dan menjadikan agama sebagai faktor penting di ruang publik.

Islam salafi transnasional yang hadir melalui HTI dalam gelombang ketiga Islam di Papua, dan yang mendapat simpati dari kelompok radikal lain tanpa organisasi seperti kelompok dari JUT, memancing agama-agama yang sudah ada untuk mengevaluasi ulang peran mereka dalam masyarakat atau di ruang publik. 

Kehadiran mereka pertama-tama sudah mengancam kelompok Islam nusantara yang dikembangkan oleh NU, Ansor dan sebagian Muhammadiyah, yang sudah lama di Papua. Dengan kelompok ini kehidupan antara agama selama ini di Papua nampak harmonis, baik di akar rumput maupun antara pemimpin agama melalui FKUB. Kelompok baru hadir setelah lama mereka dibuat merayap dan bergerak di bawah tanah zaman Soeharto.

Sekarang mereka bangkit dan dengan berani menampilkan ideologi kilafah transnasional. Ideologi ini menekankan solidaritas internasional dengan hanya mengakui kilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintah dan pemimpin mereka, dan tidak mengakui ideologi nasional dan pemerintahan setempat.

Dasar ideologi adalah syariah formal. Sistem pemerintah dan kehidupan politik ditentukan oleh hukum Islam. Dalam hukum ini keberagaman sulit diterima karena dia menafikkan yang lain atau yang beda agama, sekurang-kurangnya menjadikannya golongan kelas dua dengan hak terbatas. Hukum ini menjunjung tinggi kemurnian Islam dalang rangka mengembalikan lagi kejayaan Islam yang hilang karena kejatuhan Ottoman oleh Barat. Demi kemurnian ini, unsur  yang bukan Islam, termasuk budaya, tak bisa ditolerir. 

Paham atau ideologi ini jelas bertentangan dengan Islam arus utama yang sudah ada di Papua dan dengan agama lainnya. Islam lain menekankan Islam nusantara yang mau menghargai budaya nusantara sebagai bagian dari penghayatan Islam di Indonesia, yang dengannya mereka bisa merasa sekaligus sungguh Indonesia dan sungguh Islam dan memungkinkan mereka bisa hidup bersama dengan orang Indonesia penganut agama lain.

Kelompok arus utama ini juga merasa ditantang oleh kelompok baru ini karena mereka menjunjung tinggi syariah sebagai modal etis dalam membangun masyarakat islami tetapi tidak menginginkan formalitas syariah menjadi ideologi dan sistem hukum negara. Syariah hanya memberi inspirasi moral spiritual bagi sistem itu yang disatukan dengan sumbangan moral lain dari agama lain. 

Kekuatiran kelompok Islam arus utama ini semakin besar karena kehadiran kelompok baru ini merusak suasana kerukunan agama yang sudah dibangun selama ini. Pembauran yang terjadi secara alamiah melalui interaksi sosial, ekonomi dan kebudayaan sudah terjadi lama dan semua agama sudah sering  mengambil sikap bersama terhadap masalah sosial dan masalah politik. Tetapi kehadiran Islam baru ini, yang walaupun kecil tetapi militan dan agresif, memicu polarisasi baru dalam masyarakat berdasarkan agama dan aliran, melalui proses “politik identitas”. Dan politik identitas ini menyebar ke semua bidang kehidupan sehingga isu agama tidak lagi murni agama tetapi menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Sindrom politik identitas membutuhkan ketrampilan baru dalam mengolah keragaman demi membangun rumah bersama. Dalam sentimen politik identitas ini, isu mayoritas dan minoritas, marginalisasi kelompok minoritas dan kelompok asli di ruang publik merebak dalam wacana publik, dalam berpolitik di kota dan kabupaten serta di tingkat provinsi. 

Dalam konteks ini ada suatu kekuatiran lain yang muncul, yaitu bangkitnya kelompok radikal baru dalam lingkungan kristen, baik kelompok radikal yang sudah ada maupun radikalisasi kelompok moderat. Hal ini muncul  sebagai reaksi dari provokasi kelompok baru Islam dan dampak sistemiknya (di tingkat nasional, terutama peristiwa Ahok, dan di tingkat daerah, khususnya kelompok JUT dan HTI).

Radikalisme Kristen ini tidak kalah garang. Radikalisme Islam melalui kelompok dakwah baru agresif seperti “Kapal Dakwah” Fazlan A di Selatan Papua  disambut oleh reaksi misi kristen yang mau merebut umat, termasuk kaum kedar. Bahkan reaksi ini berkembang menuju promosi Injil sebagai satu-satunya sumber acuan kehidupan masyarakat, dengan  semboyan “Papua Tanah Injil”,  dan menuju perdasus keagamaan yang sangat memberi hak istimewa pada kekristenan.

Ini merupakan suatu reaksi yang dianggap sebanding dengan gerakan yang ingin memformalkan syariah dari kelompok baru. Bersamaan dengan pengamatan umum bahwa fasilitas agama islam semakin banyak dan akses publik semakin luas, reaksi berlabel “Papua Tanah Injil” dipahami sebagai mekanisme pertahanan diri dan perebutan akses yang hilang itu. Seperti dalam Islam, kelompok radikal ini pun mengancam aliran Kristen lain yang lebih moderat dan tidak mendukung formalisasi Injil dalam hukum atau perundangan daerah. Kelompok moderat ini lebih mendukung program “Papua Tanah Damai” yang sudah diterima oleh semua agama di Papua sebagai platform bersama.

Turunan dari aksi dan reaksi ini adalah polarisasi agama yang terbawa pada polarisasi  Papua dan non-Papua, atau bahkan Papua dan Indonesia dalam gerakan perjuangan Papua. Identifikasi lama, Papua-Kristen yang berbeda dari Indonesia-Islam, sangat mudah dijadikan bumbu politik, baik politik dalam rangka merebut akses politik yang sedang ada di daerah, maupun politik kemerdekaan Papua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA