Tafer Bupati Menyebar HOAX ?


Mengkritisi kebijakan Satgas Covid-19 Kepulauan Aru.

(Hard Darakay_Wadir LBH SIKAP ARU)

Beberapa hari lalu beredar berita di media online tentang pernyataan Bupati Aru Tafer Johan Gonga, bahwa telah terjadi pemalsuan ratusan surat rapid antigen. Pertanyaan kemudian, apakah benar seperti itu ? apa buktinya ? Jika sudah punya bukti, mengapa tidak ditindaklanjuti ke ranah hukum ? Atau jangan-jangan tafer Bupati sedang menyampaikan berita bohong ke publik ? 

Ingat, tulisan ini bukanlah suatu tuduhan atau niatan mencemarkan nama baik tafer Bupati yang dapat berakibat pidana. Saya hanya ingin memastikan bahwa akal sehat ini tidak dipenjara oleh kedunguan para penguasa Jar Garia.

Menurut berita online N25NEWS, Tafer Bupati menyampaikan keprihatinannya terhadap praktek pemalsuan surat rapid test antigen. Hal itu disampaikan Beliau setelah ada temuan tujuh ratus penumpang KM. TIDAR mempunyai surat rapid test antigen sedangkan yang dikeluarkan PEMDA Aru hanya seratus.  Hal itu kemudian membingungkan Satgas Covid-19 Aru. 

menurut media masa tersebut, Tafer Bupati mengancam, apabila ada oknum-oknum di Dinas Kesehatan, RSUD, atau Puskesmas yang membuat surat rapid test palsu, maka akan ditindak tegas. Beliau kemudian menginstruksikan agar kedepan, semua surat rapid, baik antigen maupun swap test harus melalui satu pintu, yaitu RSUD Cendrawasih Dobo.  


TINJAUAN KRITIS

Merujuk pada penjelasan tafer Bupati di atas, bisa diasumsikan, Satgas Covid-19 punya bukti kuat tentang adanya praktek pemalsuan surat rapid antigen. Karena mereka menemukan langsung 700 penumpang KM. TIDAR yang  menunjukkan surat rapid antigen. Selain melihat langsung, mungkin pula mereka mendokumentasikan. Nah, pada surat tersebut pasti tertulis nama Petugas Pemeriksa & Dokter Penanggungjawab Teknis Medis. Jika Pemda Aru (Satgas Covid-19) serius menangani masalah ini maka mereka itu sudah ditindak tegas secara hukum. Bukan malah mengeluarkan ancaman abal-abal. 

Pertanyaan juga, mengapa Satgas Covid-19 Aru tidak batalkan keberangkatan 700 penumpang itu jika surat rapid yang dipegang adalah Palsu ?Pada bagian ini saya tiba-tiba ingat Bapa Ngutra (Kepala BPBD) yang pernah batalkan pertandingan futsal di Markas Kompi Senapan TNI AD beberapa waktu lalu, padahal panitia sudah mengantongi ijin dan mengikuti semua prosedur covid-19 secara tertib & legal. Lah, turnamen futsal bisa dibatalkan, sedangkan keberangkatan penumpang Kapal TIDAR dibebaskan. 

Bukankah tindakan pemalsuan adalah pidana ? Atau Kepala BPBD buta aturan ? Hanya dewa yang tahu 

Kembali ke laptop, maksud saya, kembali ke pernyataan Tafer Bupati Aru. Ada kesan bahwa para pelaku pemalsuan surat rapid antigen adalah oknum tenaga kesehatan pada Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Tapi mengapa tidak menyebut oknum dokter pemilik klinik yang juga mengeluarkan surat rapid antigen ?

Sebab beredar isu, ada oknum dokter berinisial "WG" & dokter "O" juga mengeluarkan surat rapid antigen. Untuk kedua oknum dokter ini saya tidak mau berspekulasi lebih jauh karena konon katanya, ada hubungan keluarga dengan Tuan Besar. 🙏🏽

Maksud saya, kalaupun Puskesmas & Dinas Kesehatan mengeluarkan surat rapid antigen, trus salahnya dimana ? Tafer Bupati tahu aturan tidak ? Ada surat edaran menteri kesehatan nomor HK. 02. 01/Menkes/382/2020 Tahun 2020 Tentang Protokol Pengawasan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri Di Bandar Udara Dan Pelabuhan Dalam Rangka Penerapan Kehidupan Masyarakat Produktif Dan Aman Terhadap Covid-19. Poin 3 Surat Edaran tersebut berbunyi "Surat keterangan pemeriksaan RT-PCR atau surat keterangan pemeriksaan rapid test penumpang dan awak alat angkut yang melakukan perjalanan dalam negeri diterbitkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah & swasta yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Daerah kabupaten/kota."

Disini terlihat jelas, ada legitimasi bagi Dinkes untuk menerbitkan surat rapid test. Sedangkan di poin 4 dijelaskan bahwa RSU baru boleh menerbitkan surat rapid test manakala Dinkes belum menunjuk fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat menerbitkan surat itu. Lah, ini pernyataan Tafer Bupati yang menginstruksikan pelayanan satu pintu di RSUD Dobo seakan mengamputasi kewenangan Dinkes, atau bahkan bisa disebut pelecehan terhadap legitimasi Dinas Kesehatan Kepulauan Aru. 

Hemat saya, menuduh ada oknum pelaku pemalsuan rapid antigen pada Dinkes memiliki konsekwensi yang serius. Jika hanya sekedar ngomong tapi tidak dibuktikan, itu namanya menyebar berita bohong alias hoax. Seharusnya Tafer Bupati maupun Satgas Covid-19 bisa buktikan dan tindak tegas pelaku pemalsuan, karena orang yang mengetahui adanya tindak pidana tapi mendiamkannya, patut diduga terlibat pemufakatan jahat (bandingkan pasal 164 & 165 KUHP).

Mengutip ulasan pakar hukum di website Hukum Online (diakses 21 April 2021, jam 21.00 wit), dijelaskan bahwa ada kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi jika mengetahui suatu tindak kejahatan walaupun dalam pasal 165 KUHP hanya disebutkan beberapa pasal tindak kejahatan. Karena jika tidak diberitahukan segera, maka orang tersebut dapat dikatakan memberi kesempatan kepada seseorang untuk melakukan kejahatan.

Selama tidak bisa dibuktikan, maka jangan salahkan spekulasi liar di masyarakat tentang adanya persekongkolan bermotif bisnis di balik kebijakan rapid test satu pintu. Ada masyarakat yang berpendapat "yaaa mungkin saja selama ini RSUD pemasukannya kecil jika puskesmas & klinik juga menerbitkan surat rapid test, sehingga dengan kebijakan satu pintu, maka pendapatan meningkat drastis". 

Seandainya alasan ini benar, publik masih bisa menganulir. Karena dengan begitu, RSUD punya kemampuan secara finansial sehingga tidak selalu menggantungkan operasionalnya pada DAK. Melalui kemandirian finansial, RSUD juga bisa mendatangkan dokter spesialis yang selama ini dikeluhkan masyarakat. Tetapi jika keuntungan yang besar ini hanya digunakan untuk kepentingan pribadi direktur dan kroni-kroninya, disitulah masalah besar.

Terlepas dari itu, tanpa disadari, kebijakan satu pintu rapid test sangat ribet dan membebani masyarakat. Coba pikirkan, seorang ibu hendak membeli tiket kapal Nggapulu, dirinya harus antri berjam-jam di loket Pelni Dobo untuk mengambil formulir isian dan membayar tiket ( disini belum bisa langsung kantongi tiket), kemudian diarahkan ke RSUD untuk mengurusi surat rapid test. Untuk mencapai RSUD, sang ibu harus keluarkan ongkos ojek Rp. 10.000-Rp. 20.000 (pp).  Sampai sana, harus antri lagi berjam jam. Setelah dapat surat rapid test, balik lagi ke Pelni, antri berjam-jam untuk bisa mengambil tiket kapal.  

Sebaliknya, jika puskesmas maupun klinik bisa menerbitkan surat rapid test, maka prosesnya akan lebih mudah dan cepat. 

REKOMENDASI 

Bagian akhir tulisan ini, saya merekomendasikan beberapa hal, itupun kalau dianggap perlu. Meskipun saya yakin, tulisan ini pasti akan dinilai sinis oleh para pemangku kepentingan yang jongkok nalarnya, tapi tegak egonya. 

1. Kembalikan kewenangan Dinkes dalam menerbitkan surat rapid antigen. Ini penting, selain untuk memudahkan rakyat calon penumpang, juga sebagai bentuk ketaatan Pemda Aru & Satgas Covid-19 terhadap SE Kementerian Kesehatan.

2. Sekiranya tetap ngotot dengan kebijakan satu pintu di RSUD Cendrawasih Dobo, mohon semua pihak mengontrol secara serius sehingga keuntungan besar yang dipanen RSUD bisa digunakan secara maksimal untuk kepentingan pelayanan kesehatan di RSUD, lalu tidak ada lagi keluhan masyarakat terhadap pelayanannya.

3. Segala bentuk tindakan pemalsuan yang dilakukan oknum oknum tertentu, wajib ditindak tegas, sehingga Bupati Aru tidak dituduh menyebar berita bohong. 

4. Pemda Aru maupun Satgas Covid-19 wajib transparan terhadap penanggulangan ancaman covid-19 terutama mengenai keuangannya yang bernilai miliaran rupiah.

Akhir kata, mari kita batalkan analisis  nenek saya, yang pernah bilang, prinsip birokrasi saat ini, "kalau bisa dipersulit, ngapain harus dipermudah ?" Kobaratabi aka kem

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA