Memahami Sila ke 2 Dalam Konteks Jar Garia


Penulis: Hard Darakay
Ketua AMAN ARU.

Tanggal 1 Juni 1945 merupakan hari bersejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal itu Ir. Soekarno berpidato tentang falsafah hidup bangsa (philosofische grondslag). Kemudian, ditetapkanlah tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. 

Jika melihat konteks sejarah, kala itu merupakan momentum yang pas untuk memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Yang mana, pendudukan Jepang sedang dalam tekanan tentara Sekutu (pimpinan Amerika). Paska kekalahan dalam perang Pasifik, tentara Jepang yang berada di Indonesia berusaha menarik simpati bangsa Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoozakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada kesempatan itulah, Ir. Soekarno dipercayakan menyampaikan pidatonya tentang Pancasila. Yang kemudian isi pidato tersebut dirumuskan oleh tim 9 ke dalam  Undang Undang Dasar dan merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. (Lih. Ronto. 2012. Hal. 3)

Sekarang, jaman terus berubah dan Pancasila masih tetap menjadi spirit kebangsaan kita. Di sisi lain, ada semacam degradasi pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Degradasi itu terjadi oleh ulah pemerintah maupun rakyat Indonesia sendiri yang terhanyut dalam arus globalisasi post modernisme. Untuk mengetahui secara detil tentang ini, saya rekomendasikan pembaca menulusuri tulisan Rubiyo, berjudul "Restorasi Pancasila Sebagai Falsafah Bangsa" yang dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional tahun 2017 dengan judul Revitalisasi Ideologi Pancasila dalam Aras Global Perspektif Negara Hukum. 

Sesuai dengan judul artikel, disini saya hanya menganalisis seperti apa degradasi pengamalan Pancasila khususnya Sila ke 2 dalam konteks kekinian di Jar Garia. Sampai hari ini, sangat sedikit literatur yang membahas secara mendalam dan komprehensif tiap-tiap Sila. Kebanyakan, hanya mendiskusikan Pancasila secara umum dalam konteks universal Indonesia. Artinya ada kekhasan hidup masyarakat lokal yang terlewatkan, atau mungkin sengaja diabaikan. 

Anda mungkin bertanya, mengapa langsung bahas sila ke-2 ? Bukankah lebih baik dirunut dari sila ke-1 kemudian ke-2, ke-3 dan seterusnya. Bagi saya, masalah sosial yang sedang konkrit di Jar Garia sangatlah bersentuhan dengan pemaknaan sila ke-2 Pancasila.

ANALISIS

Kalo buka Youtube anda akan menemukan satu konten yang sangat lucu, judulnya Orang Gila vs Finalis Puteri Indonesia Adu Hafal Pancasila. Ternyata Orang Gila yang fasih menghafal dengan tepat, ini menunjukkan bahwa banyak orang waras yang menyebabkan terjadinya degradasi Pancasila, bayangkan, hafal saja tidak, bagaimana mau mempraktekkannya ? Wallahu a'lam.

Bunyi sila ke-2 Pancasila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Mari kita bedah sila ini. Oh iya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Sila artinya dasar atau asas. Sedangkan Panca artinya angka lima,  Sehingga secara sederhana Pancasila bisa diartikan lima dasar atau lima acuan kultural hidup bangsa Indonesia. 
Sementara frasa "kemanusiaan yang adil" merupakan gabungan kata yang mudah dimengerti. Namun, jika kita sedikit berpikir kritis, sebenarnya kata "adil" masih merupakan kata yang abstrak. Konsep adil itu ada banyak dimensinya. Menurut Aristoteles misalnya, ada keadilan distributif, keadilan korektif, keadilan komunikatif (lih. Allan Beever. 2013. Hal. 63). Ada pula keadilan menurut John Rawls dan para ahli lainnya. 

Maka wajar ditanyakan kemanusiaan yang adil seperti apakah yang dimaksud dalam sila ini ?. Ketidakjelasan konsepsi, tentu berakibat pada kecenderungan multitafsir tiap orang, termasuk oleh otoritas pemerintah sendiri. Memang benar ada butir butir pengamalan Pancasila sehingga kita bisa sedikit mengerti, tetapi apakah sudah sejalan dengan kenyataan empiris masyarakat Indonesia, terkhusus Kepulauan Aru ? Sesungguhnya inilah penekanan terpenting seorang pemikir besar seperti Aristoteles. 

Berbicara mengenai kemanusiaan dalam konteks Kepulauan Aru tentu tidak asing. Sudah banyak aksi kemanusiaan yang disponsori oleh berbagai organisasi kepemudaan, sebut saja GMNI, GMKI, AMAN dll. Namun jika menyoroti kemanusiaan yang adil, tentu ini agak berat. Maksud saya, hari ini ada banyak masalah kemanusiaan di Aru, masalah-masalah itu sifatnya makro sehingga sangat berat jika kita hanya memberi tanggungjawab kepada organisasi kepemudaan. 
Sebut saja, masalah ketidakadilan di bidang perikanan, kontroversi Lumbung Ikan Nasional. Masalah tingginya angka pengangguran serta minimnya lapangan kerja, masalah ketersediaan minyak tanah yang terbatas serta berbagai masalah lainnya. Kesemuanya itu sudah terjadi sejak belum ada pandemi, sekarang makin parah setelah covid-19 tak kunjung berakhir. 

Tak perlu dijelaskan disini, siapa yang kemudian menjadi korban ketidakadilan dan siapa yang paling diuntungkan, karena kita sudah cukup cerdas untuk mengetahuinya. Variabel-variabel ketidakadilan itu bisa dengan mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari di kota Dobo dan sekitarnya. 

Satu hal penting lainnya yang perlu diketahui dalam sila ke-2 Pancasila adalah kata "beradab". Menurut KBBI "Beradab" merupakan kata kerja yang artinya berakhlak, berkebudayaan atau memiliki budi pekerti. Bung Karno paham betul bahwa ada nilai kearifan lokal yang kuat dipegang oleh bangsa Indonesia, sehingga penggunaan kata "beradab" mempunyai implikasi terhadap pentingnya melestarikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Nusantara. 
Satu kata kearifan lokal yang muncul dalam pidato Bung Karno tanggal 1 Juni adalah Gotong Royong (kita bisa cek sendiri videonya di Youtube). Kata ini merupakan salah satu ciri khas Bangsa Indonesia. Gotong royong merupakan warisan leluhur yang melekat sebagai jati diri bangsa kita. Dengan tegas Bung Karno berkata "Indonesia yang tulen adalah gotong royong"

Pertanyaan kemudian bagaimanakah aplikasi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" menurut adat dan kebudayaan Jar Juir ? Atau lebih spesifik, adakah budaya gotong royong (Bahasa Tarangan: Darkoar) dalam peradaban Jar Juir ? 
Menurut pandangan saya, akhir akhir ini nilai  kearifan lokal masyarakat adat Aru mulai hilang dari keseharian hidup. Ada banyak faktor penyebabnya (soal ini akan dijelaskan pandangan saya dalam tulisan yang lain). Paling tidak, kita pahami dulu bahwa sejak awal berdirinya negara ini, para Bapa Bangsa telah mengingatkan betapa pentingnya nilai nilai kearifan lokal sebagai landasan hidup berbangsa. Maka itu, lifestyle kita tidak harus kebarat-baratan, ketimur-tengahan, atau yang di Aru tidak harus kejawa-jawaan. Tetapi milikilah jati diri kita sendiri sebagai suku Jar Juir dengan segala falsafah hidup yang diwariskan para leluhur. 
Pada kesempatan ini, kita perlu mengapresiasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN ARU), Eksekutif dan Legislatif yang bekerjasama secara baik untuk  membahas dan men-sah-kan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Jar Juir. Karena dalam sistem hukum positif di  Indonesia, legalitas suatu pedoman hidup bersama harus dimuat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, mulai dari tingkat nasional sampai ke daerah. Dengan demikian, aspek hukum sila ke-2 pada konteks "adab" Jar Juir semakin jelas kedudukannya secara materil maupun formil.

PENUTUP

Hendaknya tulisan sederhana ini menjadi perenungan yang mendalam ketika kita merayakan hari lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 2021. Bahwasanya, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, di dalam keberagaman itu ada kearifan lokal yang hidup sejak turun temurun. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut haruslah bersanding dengan Pancasila sebagai suatu kesatuan yang unik demi terciptanya keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara di Jar Garia tercinta.

Komentar

  1. Se7 !
    Di dlm keberagaman, ada nilai2 kearifan lokal yg SDH ada sejak turun temurun dan oleh karenanya dlm kehidupan bermasyarakat, harus ada keseimbangan antara kedua hal tsb.
    Pandangan dlm tulisan ini keren👍🔥

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA