Memahami "Mens Rea" Dalam Kasus Pelecehan Seksual Terhadap Konar Jar


Penulis: Hard Darakay

Wakil Direktur LBH SIKAP Aru

Tulisan ini berangkat dari refleksi atas kasus yang dialami oleh seorang gadis Aru yang dalam bahasa lokal disebut Konar Jar. Tentu refleksi ini bersifat pragmatis karena ditulis oleh seorang yang bukan berlatar pendidikan hukum. Meskipun demikian, saya akan berusaha menunjukkan dalil-dalil argumentasi yang komprehensif dengan mengikuti jalur pemikiran logis sesuai standar ilmiah. Maka itu perlu ada kritikan yang tajam serta konstruktif dari pembaca sehingga bisa menghasilkan suatu edukasi hukum bagi publik. 

Berikut ini kronologi singkatnya. Seorang anak gadis berusia 14 tahun, sebut saja Tiwi, bertetangga baik dengan perempuan dewasa bernama Mirsa (bukan nama sebenarnya). Sebagai tetangga dekat, tentu mereka sangat akrab bergaul. Mirsa sering main ke rumah Tiwi, begitu pula sebaliknya. Canda tawa dan saling curhat merupakan aktivitas yang asik dilakukan bersama. 

Tak disangka, suatu hal aneh terjadi kemudian. Mirsa tiba-tiba ajak Tiwi untuk "pergi bersama" seorang pria dewasa bernama Happy (bukan nama sebenarnya). Happy adalah seorang pengusaha sukses yang kaya raya. Kata "pergi bersama" sengaja dikasih tanda petik karena bisa multi tafsir. Lagipula belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, mengingat kasus ini masih dalam proses penyidikan Polres Aru. 

Orang bisa saja mengartikan "pergi bersama" itu sebagai pacaran, pergi tidur bersama, nikah dll. Yang jelas, menurut pengakuan korban (saat saya mewawancarai) dirinya diajak Mirsa untuk "pergi bersama" Happy. Demi meyakinkan Tiwi, Mirsa menjelaskan bahwa Happy itu lelaki baik hati, punya banyak uang, punya mobil. Kalau Tiwi mau "pergi bersama" Happy maka akan diantar jemput pakai mobil terus dikasih duit jutaan rupiah. Mirsa juga menjelaskan biasanya Happy minta ketemuan di penginapan sekitar kota Dobo. Disampaikan pula, beberapa kali Happy mengikuti Tiwi dari belakang saat dirinya pulang sekolah.

Mendengar ajakan tersebut, spontan Tiwi menolak. Dirinya merasa ada yang aneh dengan ajakan itu. Karena takut, Tiwi lalu melapor kepada ibunya. Tiwi juga memutuskan untuk pindah rumah ke tempat kerja ibunya di daerah Tanjung Marbali. Sampai hari ini, Tiwi takut keluar rumah sendirian. Rasa trauma nampaknya masih terus menghantui. Sebagai pembanding, kita bisa membaca kronologisnya dalam link berita ini https://tribunaru-com.cdn.ampproject.org/v/s/tribunaru.com/2020/11/01/polres-diminta-serius-usut-dugaan-prostitusi-online-di-aru// (diakses tanggal 24 Juni 2021, pukul 12.00 WIB)

APA ITU MENS REA 

Agus Rusianto dalam bukunya "Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi antara Asas, Teori dan Penerapannya", menjelaskan bahwa mens rea 

"Is the legal term used to describ the element of a criminal offence that relates to deffendant's mental state" 

Jadi, "mens rea" merupakan istilah dalam ilmu hukum pidana yang artinya niat melakukan suatu tindakan kejahatan (criminal offence). Istilah ini selalu berkaitan dengan keadaan mental atau psikis pelaku kejahatan. 

Rusianto menjelaskan istilah ini dalam teori dualistis yang memisahkan secara tegas antara tindak pidana (criminal offence) dengan kesalahan (schuld). Kata "schuld" sendiri merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yang dalam ilmu hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana. Disini, kesalahan bukan unsur tindak pidana, melainkan unsur untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Menurut teori ini, kesalahan sebagai "mens rea" sedangkan tindak pidana merupakan "actus reus". (Rusianto. 2016. Hal 15). 

Senada dengan itu, seorang pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita dalam bukunya "Perbandingan Hukum Pidana" menjelaskan, konsep dasar hukum pidana itu meliputi uraian tentang unsur tindak pidana, klasifikasi tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, serta alasan-alasan pengurangan atau penghapusan pidana. Dijelaskan pula, setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang pidana dalam sistem hukum common-law harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan atau 

dikenal dengan istilah actus-reus; dan

2. Tertuduh melakukan pelanggaran terhadap undang-undang 

dengan disertai niat jahat atau dikenal dengan istilah mens 

rea. (Atmasasmita. 2000. Hal. 55-56). 

Sebenarnya, ini merupakan khasanah ilmu hukum pidana Belanda yang mana unsur "mens rea"

atau sikap batin pelaku merupakan unsur yang sangat penting. Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak selalu dapat dipidana. Hal ini tergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak 

pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang itu tidak cukup dilakukannya tindak pidana saja tetapi juga harus memenuhi pula adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan.

Utrecht mengatakan bahwa pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga unsur yaitu:

1. Kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pelaku.

2. Suatu sikap psikis pelaku berhubung dengan kelakuannya, yaitu Kelakuan secara sengaja (dolus), dan kelakuan kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan atau culpa).

3. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku atau yang dalam bahasa Belanda disebut teorekenbaarheid. (Darmabrata. 2003.ix).

"MENS REA" DALAM KASUS PELECEHAN SEKSUAL

Setelah meninjau pandangan para ahli hukum pidana, kemudian menghubungkan dengan kronologis kasus di atas, maka bisakah kita temukan "mens rea" di dalamnya ?. 

Untuk lebih memahami secara sederhana, pertama-tama cobalah kita mendudukan masalah ini pada sudut pandang asas kesalahan 'tiada pidana tanpa kesalahan' sebagai unsur pertanggungjawaban pidana. Sementara di dalam pertanggungjawaban pidana, mengandung pencelaan/pertanggungjawaban objektif dan subjektif (Rusianto. 2016. Hal. 18).  

Pertanggungjawaban objektif disini maksudnya, Mirsa diduga telah melakukan tindak pidana menurut hukum yang berlaku (asas legalitas). Misalnya kejahatan cybercrime, prostitusi online yang hukumannya di atur dalam pasal 45 ayat (1) juncto pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pasal ini berhubungan dengan percakapan via telpon seluler antara Mirsa dan Tiwi, yang dalam percakapan tersebut, Mirsa, merayu dan atau mengajak Tiwi melakukan tindakan asusila bersama Happy. 

Selain itu, menurut hemat saya, kasus ini bisa juga dikenakan pasal percabulan. Memang di dalam KUHPidana tidak mengenal istilah pelecehan seksual. Yang ada hanyalah perbuatan cabul yaitu dalam pasal 289 sampai dengan pasal 296 KUHPidana. Ratna Batara Munti dalam artikelnya berjudul "Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas" menjelaskan "segala perbuatan, apabila itu telah dianggap melanggar norma kesopanan/kesusilaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan cabul". Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eksenazi and David Gallen, 1992) maka, unsur penting dalam pelecehan seksual yaitu adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk perhatian itu seperti siulan (bersiul), kata-kata atau komentar yang menjurus kepada makna asusila. 

Dengan demikian menurut Ratna, kasus semacam ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual sehingga bisa dijerat dengan pasal percabulan (pasal 289 s.d. pasal 296 KUHPidana). 

Berdasarkan kronologi di atas, terlihat jelas adanya unsur pelecehan seksual yaitu berupa kata-kata dan komentar dari Mirsa terhadap Tiwi. Sebagai korban, Tiwi tidak saja menolak ajakan itu, dirinya juga menjadi trauma. Namun sekali lagi, ini masih bersifat dugaan yang didasarkan pada pengakuan korban saat diwawancarai. Kita bisa memastikannya bilamana sudah ada putusan hakim pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht)

Bagaimana dengan pertanggungjawaban subjektif ?Rusianto menjelaskan, pelaku tindak pidana patut dicela atau dipersalahkan (dipertanggungjawabkan) atas tindak pidana yang dilakukannya. Bagian ini sebagai pasangan dari asas legalitas. Ketercelaan itu didasarkan atas perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat (Rusianto. 2016. Hal 18).

Dalam konteks masyarakat adat Aru, perbuatan asusila merupakan hal yang sangat tabuh. Jangankan dilakukan, dibicarakan saja, masih dianggap kurang sopan. Sedangkan untuk kasus ini sendiri, sempat viral di media sosial dengan #SaveKonarJar. Aksi spontan itu sebagai bentuk kekecewaan publik terhadap pelaku. Biasanya perbuatan tercela seperti ini akan dikenakan denda adat. Jadi tidak bisa dipungkiri, tindakan Mirsa merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma sosial masyarakat Aru. 

Disaat tindakan Mirsa terbukti sebagai bentuk kesalahan (schuld) maka dengan sendirinya akan terlihat aspek kesengajaan (dolus) di dalamnya. Dimana secara sadar dan berulang-ulang Mirsa mengajak Tiwi untuk melakukan perbuatan yang anti sosial. Sedangkan bentuk kealpaan (culpa) tercermin pada respon publik yang mengutuk tindakan pelaku yang bertentangan dengan "social ethics". Maksudnya, Mirsa telah lalai terhadap nilai-nilai etis yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Aru.

Sekarang, menjadi jelas bagi kita, dalam kasus ini terdapat unsur mens rea. Tinggal bagaimana penegak hukum membuktikannya dalam persidangan nanti dengan dukungan berbagai alat bukti. Disamping itu, perlu juga menemukan unsur actus reus. Karena pertanggungjawaban pidana harus didasarkan pada kedua unsur tersebut. Tetapi tulisan ini tidak untuk membahas unsur actus reus. 

SECANGKIR KOPI HARAPAN

Pada bagian akhir tulisan ini, saya hanya menekankan bahwasanya publik masih memiliki kepercayaan kepada para penegak hukum di Aru untuk bertindak profesional. Seperti seorang yang meneguk secangkir kopi lalu menghempaskan aroma khas tentang hidup yang penuh pengharapan akan kebenaran dan keadilan. Niscaya tercium pekat aromanya manakala Mirsa maupun Happy lelaki hidung belang itu bisa ditindak tegas termasuk jaringan serupa yang telah merusak "social ethics" masyarakat Aru.  

Aroma itu pula menyadarkan kita bahwasanya tidak ada niat untuk mendikte aparat penegak hukum tentang apa dan bagaimana mereka harus bertindak. Meskipun para ahli hukum pidana mengingatkan tentang pentingnya teori semacam ini sebagai landasan perumusan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam pembentukan undang-undang maupun dalam rangka pertimbangan hakim di persidangan.

Kobaratabi

Referensi

Rusianto, Agus. 2016. Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori dan Penerapannya. Rawamangun: Fajar Interpratama Mandiri. 

Darmabrata, Wahjadi. 2003. Psikiatri Forensik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 

Atmasasmita, Romli. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: CV Mandar Maju.

Munti, Ratna Batara. 2001. "Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas", https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol2472/kekerasan-seksual-mitos-dan-realitas. Diakses pada tanggal 24 Juni 2021, pukul 12.00 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA