Perda Masyarakat Adat Aru Sebagai Amanat Konstitusi


Penulis: Hard Darakay

Ketua AMAN ARU

Beberapa waktu lalu kita mendengar kabar baik dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru bahwa telah dimasukkannya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Jar Juir ke dalam daftar Rancangan Perda yang akan dibahas tahun ini. Tentu hal tersebut merupakan awal yang baik. 

Melalui tulisan sederhana ini, saya ingin berbagi sedikit pengetahuan kepada beberapa orang yang belum paham tentang pentingnya Perda Masyarakat Adat. Sebelumnya, perlu diidentifikasi apa latar belakang masalah yang pernah terjadi pada masyarakat adat Jar Juir sehingga Perda ini dinilai penting. Penggunaan kata Jar Juir disini sebagai penegasan bahasa adat yang dikenal luas dengan sebutan suku Aru.  

Dulu waktu saya masih SD pernah terjadi konflik horizontal di kota Dobo kemudian konflik tersebut terselesaikan dengan pendekatan Adat. Beberapa tahun kemudian, tepatnya ketika saya sudah di bangku SMP terjadi konflik antar satu kampung dengan kampung lainnya di Aru Selatan Timur dan Aru Selatan. Motifnya adalah saling klaim petuanan.  Puji Tuhan, kedua masalah itu bisa terselesaikan juga dengan pendekatan adat. 

Sekitar tahun 2013-2014 terjadi invasi kapitalisme besar-besaran oleh PT. Menara Group. Berkat kerjasama AMAN ARU, berbagai OKP dan seluruh elemen masyarakat adat di kampung maka korporasi tersebut angkat kaki dari Aru. Meskipun secara de jure kita belum tahu apakah perusahaan perkebunan itu sudah benar-benar pergi dari Aru atau tidak. Masalah terbaru yang dihadapi masyarakat adat saat ini adalah soal kontroversi Lumbung Ikan Nasional dan Ilegal Logging. 

MEKANISME HUKUM POSITIF VS KLAIM LISAN KEPEMILIKAN PETUANAN

Dari beberapa contoh kasus di atas memperlihatkan setiap saat ada ancaman terhadap eksistensi masyarakat adat. Entah itu dari luar maupun dari dalam masyarakat adat sendiri. Adalah suatu kebanggaan tersendiri jika pendekatan adat mampu menyelesaikan berbagai konflik tersebut, namun bagaimana jika tidak ?

Dalam pengamatan saya, beberapa kali sengketa perdata (saling klaim petuanan) gagal diselesaikan dengan pendekatan adat. Secara pragmatis saya menilai adanya intrik dari beberapa elit politik dan pemerintahan yang mempolitisasi konflik tersebut sehingga terkesan mekanisme pendekatan adat tak mampu menghadirkan rasa keadilan.  Akibatnya, masalah antar kampung harus dibawa ke ranah hukum positif. 

Masalah muncul ketika saling klaim petuanan harus dibuktikan dengan  kaidah-kaidah hukum positif pada sidang perdata. Katakan saja perkara antara kampung "W" dan kampung "K".  kampung "W" mengklaim sebagai pemilik petuanan yang sah, apa buktinya ? Sebaliknya, kampung "K" juga mengklaim hal yang sama, lalu apa buktinya ?  Tidak adanya bukti materiil yang kuat maka kemungkinannya adalah kalah dalam persidangan. 

Dalam pasal 163 HIR (Herzien Inlandsch Reglement yaitu hukum acara dalam persidangan perkara perdata) mengatur bahwa barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Rumusan norma tersebut paralel dengan asas actori incumbit prabotio.  Sedangkan alat-alat pembuktian itu terdiri dari alat bukti tertulis, alat bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.(Bdk. Laila M. Rasyid dan Herinawati. 2015. 76-95). 

Saya tidak bahas satu per satu karena tentu akan sangat panjang penjelasannya. Paling tidak, kita tahu apa itu alat bukti. Jadi, setiap orang yang mau berperkara di pengadilan perdata wajib menyiapkan alat  pembuktian yang kuat. 

PERSPEKTIF KONSTITUSIONAL

Sebelum meninjau perspektif konstitusional, perlu kita ketahui yang dimaksud masyarakat adat adalah: 

"komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam , kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan." (aman.or.id. diakses pada 5 Juni 2021 pukul 21.00 wib)

Menurut konstitusi atau ketatanegaraan Bangsa Indonesia, Masyarakat Adat merupakan entitas penting dalam menjaga keutuhan NKRI. Makanya pada pembukaan UUD 1945 disebutkan "kemanusiaan yang adil dan beradab", yang kemudian dijadikan sila-2 Pancasila. Kata adab secara jelas menunjuk pada adat dan budaya orang Indonesia. Bahkan pidato presiden Soekarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, dengan tegas beliau tekankan pentingnya melestarikan budaya gotong-royong sebagai salah satu dari sekian banyak nilai luhur bangsa Indonesia. 

Ir Soekarno juga pernah menghendaki agar pelembagaan masyarakat adat diatur secara formal melalui Desa Praja, maka diterbitkannya UU No. 19 tahun 1965 tentang Desa Praja. Meskipun kemudian tidak berjalan dengan baik karena terjadi pergolakan politik saat itu. (Kurnia Warman. 2014. 8)

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. 

Pasal 28i ayat (3) "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban". 

Pasal 32 ayat (1) "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” ayat (2) "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Bunyi pasal-pasal di atas cukup jelas.

Memang ada beberapa bagian yang perlu dikritisi soal pengakuan negara terhadap masyarakat adat yang seolah-olah "bersyarat". Misalnya negara mengakui dengan syarat : "masyarakat adat itu masih hidup", "harus sesuai perkembangan zaman" dll. Saya akan membahas di tulisan lain. Disini saya hanya menunjukkan adanya pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat adat.

Selain UUD 1945, ada pula UU sektoral yang juga memberi ruang bagi masyarakat adat beserta sistem hukumnya. Misalnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara.  

PERATURAN KHUSUS MASYARAKAT ADAT

Meskipun sudah ada dasar konstitusional bagi eksistensi masyarakat adat, namun ini belum cukup untuk memproteksi keberlangsungan hidup masyarakat adat itu sendiri. Ada banyak segi kehidupan masyarakat adat yang belum diatur secara tegas dan spesifik. Maka dari itu, dipandang perlu sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus tentang masyarakat adat. 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah satu satunya organisasi non pemerintah yang sudah membuat draft RUU Masyarakat Adat dan sekarang sudah diserahkan kepada DPR RI maupun Presiden Joko Widodo. Bagi AMAN, RUU tersebut bisa menjadi payung hukum yang sangat efektif bagi masyarakat adat di Indonesia, karena mengatur secara spesifik dan mendalam tentang eksistensi masyarakat adat. Namun hingga hari ini belum juga dibahas dalam paripurna di DPR RI. Memang untuk persoalan seperti ini diperlukan kesabaran untuk lobi-lobi politik. 

Itu di tingkat pusat. Di daerah otonom seperti propinsi dan kabupaten juga perlu adanya peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagai implikasi dari peraturan dan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Kita tahu, adat Jar Juir berbeda dengan adat Jawa dan Bali. Tidak mungkin aturan adat Jawa dipaksakan mengatur tata kehidupan masyarakat adat Aru. Maka diperlukanlah peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Jar Juir. 

AMAN Daerah Aru sudah menyerahkan naskah Ranperda tersebut kepada Pemerintah Daerah. Harapan masyarakat adat Jar Juir, Perda ini segera dibahas dan disahkan. Mengingat ada banyak persoalan yang dihadapi masyarakat adat akhir-akhir ini. Belum lagi masalah yang akan datang kemudian, seperti ancaman perkebunan dan pertambangan.  

REFLEKSI

Selain selaku ketua AMAN Daerah Aru, saya sebagai masyarakat adat Jar Juir berharap ada kerjasama yang baik antara eksekutif dan legislatif sehingga Perda tersebut bisa segera dibahas, kemudian disahkan. 

Sudah belasan tahun kabupaten ini berdiri, namun belum ada payung hukum bagi masyarakat adat Jar Juir. Sementara kabupaten lain sudah punya peraturan daerah tentang masyarakat adat. Akibatnya secara sosiologis, pola pergaulan masyarakat adat kehilangan pegangan akan norma-norma adat, sehingga budaya luar masuk dengan mudahnya mempengaruhi masyarakat adat. Contoh kecil, jumlah penutur Rau Jar Jar (bahasa adat Aru) tiap tahun menurun. Sebaliknya, orang lebih suka menggunakan bahasa daerah lain dalam interaksi sosial.

Saat menyelesaikan masalah-masalah sosial pun ada kecenderungan menggunakan hukum positif yang berlaku umum. Akibatnya, konflik tak kunjung selesai secara damai. Sementara, para tua adat sejak dahulu kala sudah punya sistem hukum adat untuk menyelesaikan konflik horizontal. Lalu, mengapa sekarang generasi ini mengabaikannya ? 

Terkait masalah ilegal logging yang marak terjadi, salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat adat tidak punya dasar hukum (positif) yang kuat untuk menentang para pengusaha kayu dan oknum-oknum Pemda maupun aparat keamanan. Melalui kebijakan-kebijakan prematur yang dikeluarkan dinas terkait di provinsi ditambah lagi dengan oknum di kampung yang "mata duitan" maka para pelaku ilegal logging bebas membabat habis hutan masyarakat adat. Andai saja Ranperda tersebut sudah disahkan, tentu bisa dijadikan dasar argumentasi hukum untuk melawan praktek praktek ilegal logging.

Di dalam Ranperda tersebut terdapat profil Nata (Desa) lengkap dengan peta wilayah adat yang mencakup wilayah daratan, selat/sungai dan lautan. Artinya ketika semua Nata di Aru sudah punya peta wilayah adat maka dipastikan tidak akan ada lagi konflik horizontal antara satu kampung dengan kampung lainnya terkait batas-batas petuanan.

Oleh sebab itu, pembahasan dan pengesahan Perda Masyarakat Adat Jar Juir dipandang sangat penting dan genting, demi terwujudnya peradaban yang bermartabat, adil dan sejahtera bagi masyarakat adat Jar Juir secara khusus maupun seluruh elemen masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru. Kobaratabi.

Referensi:

Rasyid M Laila dan Herinawati. 2015. Pengantar Hukum Acara Perdata. Lhokseumawe. Unimal Press. 

Warman Kurnia. 2014. Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat. Padang. Andalas Press.

aman.or.id. diakses pada 5 Juni 2021 pukul 21.00 wib

Komentar

  1. Tulisan yg menarik ttg sikon yg perlu diperjuangkan, bt like

    BalasHapus
  2. Tulisan yg menarik ttg sikon yg perlu diperjuangkan, bt like

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan Teror Pada Aktivis Papua, Septi Meidodga

Kami Hidup Tapi Mati

ATAS NAMA DEMOKRASI DAN KONSTITUSI BEBASKAN SEPTI MEIDODGA, PEMBELA HAM PAPUA